Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Memoar Wartawan Biasa-Biasa #5

Teko Blirik dan Topi Pak Kabag

Oleh: Amang Mawardi

Saat peristiwa ini berlangsung, saya belum nikah. Usia sekitar 25 tahun.

Sejumlah wartawan yang jumlahnya seputar 5 orang diajak kunjungan kerja (kunker) pak kepala bagian (kabag) penerangan sebuah instansi kesatuan yang paling banyak berhubungan dengan masyarakat, ke kawasan tapal kuda.

Dari sekian wartawan yang diajak kunker itu, yang saya ingat cuma Samantha wartawan Jawa Pos. Usia Pak Samantha lebih kurang 40 tahun.

Saat itu manajemen Jawa Pos belum dihendel majalah Tempo.

Pagi-pagi kami berkumpul di markas kesatuan setingkat provinsi di kawasan Surabaya Selatan yang jaraknya dari perbatasan Surabaya-Sidoarjo kira-kira 2,5 kilometer.

Setelah itu para wartawan diajak ikut menjemput pak kabag penerangan yang perwira menengah di rumah dinas dekat Roza (Royal Plaza) sekarang. Baru kemudian menuju Probolinggo.

Dari kantor markas kesatuan setingkat daerah tingkat II itu, di antaranya kami selanjutnya menuju markas kesatuan setingkat kecamatan, masih di kawasan Probolinggo.

Di situ rupanya ada seremonial yang diselenggarakan dengan meriah. Termasuk ada acara pembagian ‘door prize’.

Saat itu antara lain diumumkan, “silakan raba di balik kursi yang hadirin duduki… “. Maka, saya pun segera ikutan bertindak. Ternyata teraba kertas karton kecil yang diisolasi. Lantas saya cabut, di karton itu tertulis nomor sekian yang ternyata cocok dengan salah satu deretan ‘door prize’ di meja yang semua dibungkus kertas sampul warna coklat dengan ukuran berbeda, ada yang besar dan ada yang kecil.

Di kendaraan dalam perjalanan menuju satu titik tujuan lagi –saya lupa masuk Probolinggo atau Pasuruan– oleh teman-teman wartawan saya disuruh buka bungkusan ‘door prize’ tersebut. Tapi saya bilang, “Jangan dibuka sekarang. Maaf, nanti mau saya serahkan Ibu saya, biar beliau senang. Biar beliau saja yang membukanya… “.

Ada salah satu teman wartawan yang mengangkat bungkusan tadi dan menggerak-gerakkannya, mencoba-coba menerka apa isinya.

(Setelah di rumah, dan dibuka oleh Ibu saya, ternyata teko logam corak blirik abu-abu kombinasi putih.

“Ini bagus, Le. ‘Kantong rezeki’. Kamu harus rajin mengisinya … ”

Tentu saja, itu diucapkan Ibu saya dengan bahasa sederhana yang setelah sekian tahun kemudian saya baru ngeh “filosofi” yang dikandung ucapan beliau, yang artinya kurang lebih saya dianjurkan untuk rajin bekerja).

Kembali ke cerita ‘on the way’ rombongan wartawan di atas, mobil kami yang ada di belakang mobil pak kabag penerangan, lantas berhenti di depan bangunan kecil di kawasan pelabuhan.

Kami disambut komandan satuan keamanan pelabuhan tersebut dan sejumlah kecil anak buahnya.

Beberapa wartawan tidak ikut masuk ke ruangan markas kantor keamanan di pelabuhan itu. Mereka asyik merokok dan ngobrol. Tapi saya ikut masuk.

Di ruangan utama markas tersebut ada meja besar dan kursi yang biasa diduduki perwira pertama yang kepala kesatuan keamanan pelabuhan itu. Ada juga meja kecil yang diletakkan di pinggir lorong kecil menuju arah belakang bagian dari ruang kantor tersebut.

Saya lihat pak kabag penerangan meletakkan topinya di meja kecil itu. Saya dan sejumlah wartawan lain, nginthil di belakang beliau.

Sekelebat ada pemandangan menarik, pak kepala kesatuan keamanan itu meletakkan amplop di bawah topi tersebut. Langsung saya membatin, “lho dike’i (dikasih) duik (duit) … ‘ Maksudnya, ini semacam upeti untuk pak kabag.

Gesture saya pun pura-pura tidak tahu.

Selanjutnya ngikuti pak kabag penerangan menuju titik buntu berupa pintu yang kemudian dibuka beliau, ternyata di balik pintu itu membentang laut lepas dengan kapal-kapal ukuran sedang dan kecil. Ada yang sandar dan ada yang mengapung-apung di laut luas: pemandangan mengejutkan!

Lantas pak kabag penerangan tadi balik badan dan mengambil topinya di meja kecil tadi. Tentu saja jari-jarinya pasti mengait amplop yang ada di bawah topi lebar yang ada sosorannya yang terbikin dari karet atau plastik itu. Lantas topi itu didekap di dada pak kabag menuju mobil dinas beliau dalam posisi ‘stand by’.

Apakah kami para wartawan juga dapat amplop perjalanan dinas? Saya tidak ingat. Mungkin iya…

‘By the way’, pak kepala bagian penerangan itu oleh sebuah institusi pers pada sekian waktu kemudian dinobatkan sebagai Humas Terbaik bersamaan dengan penyerahan sekian penghargaan jurnalistik kepada sejumlah wartawan di Jawa Timur.@

Komentar
Loading...