Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Memoar Wartawan Biasa-Biasa #9

Menjenguk di Tahanan Polsek Wonokromo

Oleh: Amang Mawardi

Awal sebagai reporter saya ditempatkan di Polwiltabes Surabaya di kawasan Jalan Veteran dan di Polda Jatim yang saat itu masih berlokasi di Jalan M. Duryat.

Setelah itu pernah ditugaskan di Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, Pemda Tingkat I Jawa Timur, DPRD Tingkat I Jatim, dan masih ada beberapa lagi instansi yang saya pos-i.

Sebetulnya yang akan saya ceritakan ini dianggap “melanggar aturan”, karena setiap keterangan kejadian kriminal yang tidak saya peroleh langsung di lapangan, hanya bisa saya terima dari Bagian Penerangan Polwiltabes atau Polda Jatim.

Nah, suatu hari saya nyelonong ke –entah pos polisi atau sekelas polsek– yang letaknya di Terminal Joyoboyo, Surabaya. Maaf, saya lupa. Tapi kalau sekelas pos polisi kok ada tiga ruang tahanan di situ?

Kenapa saya nyelonong begitu saja ke polsek ini tanpa permisi ke Bagian Penerangan Polwiltabes Surabaya?

Saya terinspirasi sahabat saya Sudirman yang wartawan Jawa Pos. Saya lupa, saat itu Jawa Pos masih manajemen lama, atau sudah ditangani majalah Tempo.

Mas Dirman ini adik kelas dua angkatan di AWS (Akademi Wartawan Surabaya). Namun, usianya 4 tahun di atas saya.

Pada suatu hari beliau pernah cerita bahwa punya banyak orang binaan di Kecamatan Wonokromo, terutama di kawasan Terminal Joyoboyo yang letaknya di belakang (bagian selatan) Kebun Binatang Surabaya.

Binaannya Mas Dirman ini tukang parkir, tukang becak, sopir len (angkot) dan beberapa orang dengan beragam profesi lainnya.

Mereka sahabat-sahabat baik Mas Dirman. Tentu ada satu-dua orang yang diberi sekadar uang rokok. Tidak semuanya.

Dari orang-orang binaan ini Mas Dirman sering dapat info penting tentang kejadian-kejadian kriminal di terminal yang dulu –maaf– terkesan semrawut itu.

“Kalau nunggu info dari bagian penerangan polisi, seringkali terlambat 6 jam, 12 jam, sehari — bahkan bisa dua hari,” begitu garis besar narasi yang disampaikan Mas Dirman.

Cerita Mas Dirman ini menginspirasi saya, sehingga pada suatu hari saya mendatangi terminal Joyoboyo dan njujug di Polsek yang ada di dalam kompleks terminal tersebut. Persisnya di ujung timur.

Seingat saya bangunan polsek ini berbentuk U, menghadap ke timur. Di “dasar hutuf U” tadi ada tiga ruang tahanan.
Di bagian piket yang bangunannya menghadap ke arah bagian belakang kebun binatang, saya diterima bintara petugas piket dengan sangat ramah.

Dari posisi saya bisa dengan jelas melihat 2-3 orang tahanan di balik jeruji besi sambil mereka mengawasi kesibukan orang-orang yang lalu-lalang di luar ruang tahanan (petugas kebersihan, polisi, dan lain-lain).

Tak lama kemudian masuk seorang wanita berusia sekitar 25 tahun berpakaian rok terusan sedikit di bawah lutut, ke ruang piket yang sebagian dindingnya terbuka itu. Tinggi perempuan muda itu sekitar 160 sentimeter. Langsing. Rambutnya potongan ekor kuda.

Bawah sadar saya mengatakan, kendati bersosok sederhana, kalem, tapi auranya memancarkan kecantikan bercampur kesedihan.

Di gendongan perempuan cantik sederhana sedih ini, ada anak lelaki berusia sekira 4 tahun. Wanita yang mau melapor ke petugas piket ini membawa tas belanjaan model jaring ikan dari tali plastik.

Sekitar tahun 1970/1980-an tas model ini “in”. Tapi ya itu, barang yang ditaruh di tas bisa dengan jelas dilihat.

Saya dulu saat kuliah di AWS (Akademi Wartawan Surabaya) sering memakai tas model ini, sehingga buku-buku yang saya bawa bisa terlihat. Ya, semacam nggaya. ‘Iki lho aku arek kuliahan…’

Di tas jaring plastik wanita tersebut terlihat mangga madu, timun, dan beberapa bungkusan daun pisang.

Tiba-tiba terdengar suara nyaring di dekat telinga saya: “Bapaakkk!!!”.

Anak kecil di gendongan ini ternyata yang berteriak ke arah ruangan tahanan. Di balik salah satu pintu berjeruji saya lihat lelaki berkumis, ada gurat-gurat ketampanan di wajahnya, melihat dengan sumringah ke arah saya — persisnya ke anak di gendongan perempuan tadi.

Lupa pamit, saya buru-buru menuju tempat parkir motor. Mata saya berkaca-kaca: membayangkan wanita tadi adalah istri saya, anak di gendongan tadi adalah anak barep saya (laki-laki, usianya sekira dengan usia yang di gendongan), dan yang ada di balik terali tadi adalah saya.

(Barangkali seandainya saya ditahan perkara politik seperti sobat saya Toto Sonata, masih bisa saya maafkan perbuatan saya, tapi kalau terkait kriminal: waduh!).

Namun, bukankah setiap orang punya kecenderungan untuk “terpeleset”? @

Komentar
Loading...