Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Revitalisasi HIS Soeloeng

Inlandsche School (IS) Soeloeng adalah sekolah khusus bagi siswa bumi putera. Kemudian pada tahun 1914 statusnya ditingkatkan menjadi Hollandsche Inlandsche School (HIS) Soeloeng, yang pengajarannya menggunakan bahasa Belanda.

REKAYOREK.ID Ada bangunan cagar budaya (BCB) di SDN Alun Alun Contong I-87 Surabaya. Sayang tidak banyak orang tahu. Bahkan warga setempat tidak mengenal apa pentingnya bangunan cagar budaya itu dan ada sejarah apa di balik bangunan cagar budaya di sana.

BCB ini begitu terselip dan terhimpit diantara bangunan bangunan lain di komplek sekolah, yang beralamat di jalan Sulung Sekolahan. Cepat atau lambat, seiring dengan perjalanan waktu, bangunan ini akan lenyap dan hilang dari ingatan.

Padahal, bangunan yang sudah ada sejak awal tahun 1900 an ini menjadi bagian dari tonggak kebangkitan dan kesadaran dalam berpengetahuan dan berpendidikan.

Jika di abad 19 atau sepanjang tahun 1800-an, gerakan bangsa ini bersifat fisik yang diwarnai dengan peperangan fisik seperti perang Pattimura (1817), perang Diponegoro (1825-1830) dan Perang Aceh (1873), maka memasuki abad 20 atau tahun 1900-an, gerakan gerakan berubah ke gerakan intelektual. Yaitu melalui jalur pendidikan, kebudayaan dan perekonomian. Gerakan pendidikan ini seiring dengan lahirnya Boedi Oetomo pada 1908.

SDN Alun Alun Contong I, semula bernama SDN Sulung, dimana kata “Sulung” menjadi kata kunci dalam melestarikan nilai nilai dari peninggalan bersejarah itu. Kata “Sulung” diambil untuk melestarikan sejarah sekolah yang asalnya dari “Inlandsche School Soeloeng” atau setingkat Sekolah Rakyat (SR) Soeloeng.

Sekolah ini dibuka secara resmi oleh Asisten Controleur Kabupaten Surabaya pada tahun 1900. Inlandsche School (IS) Soeloeng ini adalah sekolah khusus bagi siswa bumi putera. Kemudian pada tahun 1914 statusnya ditingkatkan menjadi Hollandsche Inlandsche School (HIS) Soeloeng, yang pengajarannya menggunakan bahasa Belanda.

Interior ruang kelas HIS Soelong. Foto: nanang

 

Di sekolah inilah nama presiden pertama RI, Soekarno dikaitkan karena sekolahan Sulung menjadi tempat dimana bapaknya, Raden Soekeni Sosrodihardjo mengajar setelah pindah tugas dari Singaraja, Bali ke Surabaya. Ketika dipindah tugaskan ke Surabaya dan mengajar di Inlandsche School Soeloeng, Soekeni mencari tempat tinggal (kontrak) di kampung yang berdekatan dengan Sulung. Yaitu di Pandean.

Dengan jarak yang dekat itu Soekeni bisa berjalan kaki dari rumah ke sekolahan. Sulung dan Pandean hanya dipisahkan oleh sungai Kalimas. Ada dua akses untuk melintasi Sungai. Yaitu berjalan lewat jembatan dan menyebrang dengan naik perahu tambangan. Sulung ada di barat Kalimas. Pandean ada di timur Kalimas.

Soekeni memang tidak lama mengajar di Inlandsche School Soeloeng, yang terhitung dari kepindahan tugas mengajar mulai 1898 hingga 1901. Sebelum berpindah tugas lagi ke Ploso Jombang, pada Desember 1901, di Pandean telah lahir seorang putera, yang berjuluk Putera Sangat Fajar.

Koesno, putera Sangat Fajar, lahir pada 6 Juni 1901 pada pukul 05.30 ketika Fajar menyingsing. Koesno, nama kecil Soekarno, yang baru berusia 6 bulan, harus ikut diboyong orang tuanya karena bapaknya berpindah tugas mengajar ke Ploso Jombang.

Meski terhitung singkat bagi Soekeni untuk mengajar di Soeloeng dan juga terlalu singkat bagi Soekarno kecil tinggal di Pandean, namun jejak Soekeni sebagai guru yang menebar benih ilmu pengetahuan tertoreh di sekolahan itu.

Semangat Soekeni dalam proses kebangkitan bangsa melalui jalur pendidikan telah terukir di sekolah dan telah pula terwariskan melalui sang buah hati, Soekarno, yang kemudian tumbuh dewasa menjadi presiden pertama Indonesia.

Sekolah Langka

Mengamati keberadaan gedung sekolah di lingkungan SDN Alun Alun Contong I-87 Surabaya, yang merupakan peninggalan Hollandsche Inlandsche School (HIS) Soeloeng, gedung ini memang sudah ditetapkan sebagai Bangunan Cagar Budaya dengan SK Walikota nomor: 188.45/242/ 436.1.2/2014.

Berdasarkan pengamatan langsung, gedung, dengan salah satu ruang kelasnya yang masih lengkap dengan seperangkat meja-bangku kunonya serta papan tulis hitam (blackboard), merupakan benda dan bangunan yang masih in situ. Bangunan dan seperangkat meja bangku serta papan tulis ini adalah langka. Tidak ada satu set ruang kelas dengan seperangkat fasilitas belajar mengajar yang bisa ditemukan di Surabaya, kecuali di SD Sulung.

Papan tulis yang masih pada tempatnya. Foto: nanang

 

SDN Sulung,  yang kini bernama Alun Alun Contong I, lokasinya persis di belakang kantor Gubernur Jawa Timur. Sementara di sebelah selatan sekolah adalah kawasan perdagangan jalan Pasar Besar.

Ironisnya, gedung bersejarah ini terhimpit, terselip dan tersembunyi. Apalagi bangunan bangunan di komplek sekolah sendiri juga semakin menenggelamkan keberadaan gedung bersejarah. Dari depan pagar sekolah saja tidak kelihatan gedung yang sudah berstatus Cagar Budaya itu.

Kondisi fisik ini memprihatinkan.

Ketika dikonfirmasikan kepada Wakil Ketua DPRD Surabaya, Drs. A. Hermas Thony, M.Si, Ia merasa kaget. Pasalnya sekolah SD Sulung ini adalah bagian dari sejarah kebangkitan bangsa melalui jalur pendidikan. Apalagi sekolah SD Sulung ini terkait dengan sejarah sang proklamator Soekarno. Yakni karena bapaknya, Raden Soekeni, mengajar di sekolah ini sebelum ia dilahirkan.

“Ada semangat kebangsaan dan kebangkitan dari sekolah ini. Karenanya publik harus tau sehingga bisa dipetik nilai nilai penting dari sekolah ini. Kalau sosok bangunannya terselip dan tidak diketahui publik, maka tidak ada artinya bangunan ini ditetapkan oleh Walikota Surabaya sebagai Bangunan Cagar Budaya. Karenanya perlu ada upaya bersama untuk merevitalisasi bangunan dan lingkungannya agar sekolah ini pantas sebagai jujugan sekolah kebangsaan. Sekolah ini persis di belakang kantor Pemerintah Propinsi Jawa Timur, lho”, papar AH Thony yang sangat peduli dengan nilai nilai sejarah.

Bangunan yang masih lengkap dengan sarana belajar mengajar bisa menjadi sebuah Laboratorium kebangsaan, minimal dapat digunakan sebagai ruang kelas mata pelajaran muatan lokal (mulok).

“Mata pelajaran lokal terkait dengan sejarah gedung ini bisa diajarkan oleh sekolah dengan menggunakan ruang kelas ini. Apalagi yang pernah ada di sekolah ini adalah orang orang besar seperti Raden Soekeni dan Cak Roeslan Abdoelgani. Sejarah nyata ini penting diajarkan ke siswa siswi SD Sulung. Ironis, jika mereka tidak tau sejarah lokalnya”, jelentreh Wakil Ketua DPRD, AH Thony.

Sedangkan, Dekan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unair, yang juga menjabat sebagai Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Jawa Timur, Prof. Purnawan Basundoro, berpendapat bahwa perlu ada memorial room mengenai sejarah SD tersebut, semacam museum mini, yang menyimpan berbagai peralatan dan foto penyelenggaraan belajar mengajar pada masa lalu.

“Agar SD tersebut memiliki tautan dengan masa lalu yang kuat, maka nama SD sebaiknya diubah menjadi SDN Sulung Kelurahan Alun-alun Contong. Hal tersebut perlu dilakukan karena keberadaan SD ini terkait erat dengan sejarah Bung Karno”, tegas Basundoro.

Satu set bangku meja kuno. Foto: nanang

 

Sementara itu Ketua Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Surabaya, Ir. Retno Hastijanti yang dikonfirmasi mengenai kondisi tentang keberadaan BCB dan potensi pemanfaatan BCB ke depan, ia mengatakan bahwa bangunan bangunan yang telah berstatus Cagar Budaya harus dipelihara dan dikembangkan serta dikelola sesuai dengan prinsip prinsip konservasi yang sudah diamanatkan di UU dan PP terkait.

“Untuk mendukung keberadaan BCB, diperlukan tanda tanda, rambu rambu dan penunjuk petunjuk arah yang mengacu kepada lokasi BCB”, pungkas Retno Hastijanti yang juga sebagai Pembantu Rektor (Purek) di Universitas Tujuh belas Agustus (Untag) Surabaya.

Pengelolaan Cagar Budaya

Pemerintah Kota Surabaya telah membuat Raperda Pengelolaan Cagar Budaya dan kini sedang dalam pembahasan oleh DPRD Kota Surabaya. Upaya oleh Pemerintah Kota ini menunjukkan keseriusan pemerintah dalam penanganan bangunan Cagar budaya.

Dengan perda Pengelolaan Cagar Budaya, jika kelak sudah disetujui dewan, maka harapannya adalah BCB BCB yang ada akan dikelola dan dimanfaatkan sesuai dengan tujuan tujuan sebagaimana diharapkan oleh Undang Undang Cagar Budaya. Yaitu dapat digunakan untuk tujuan tujuan pendidikan, ilmu pengetahuan, penelitian, kebudayaan, keagamaan, pariwisata hingga kesejahteraan.

Karenanya,  jika sedini mungkin diketahui adanya BCB yang sangat berpotensi dikelola dan dimanfaatkan, maka berbagai pihak terkait bisa saling berkolaborasi untuk kepentingan publik sebagaimana diamanahkan dalam Undang undang. Contohnya adalah gedung Cagar Budaya di lingkungan sekolah SDN Alun Alun Contong I-87 Surabaya.

Prasasti yang dibuat sebagai pernyataan Roeslan Abdoelgani mengenai sekolah yang bersejarah ini. Foto: nanang

 

Walikota Surabaya, Eri Cahyadi dalam berbagai kesempatan, yang terkait dengan sejarah kota Surabaya, selalu mengatakan bahwa ini saatnya, pasca pandemi, untuk bergotong royong merajut sejarah kota Surabaya dan selanjutnya dimanfaatkan demi peningkatan kesejahteraan.

Apalagi ada sejarah yang terkait dengan Soekarno. Belum lama ini, Eri Cahyadi membintangi film dokumenter yang berjudul “Koesno”. Film yang diproduksi secara kolaborasi oleh Pemkot Surabaya dan TVRI Jatim serta melibatkan Akademisi FIB Unair dan Komunitas Begandring Soerabaia ini semata mata dalam upaya merajut sejarah Soekarno di Surabaya.

Salah satu bagian dari sejarah Soekarno adalah SD Sulung dimana bapaknya, Raden Soekeni, mengajar. Karenanya simpul simpul sejarah Soekarno di Surabaya perlu dikemukakan dan dipopulerkan demi penguatan fakta bahwa Soekarno Arek Suroboyo.

Bagian bagian dari sejarah Soekarno ini adalah Hollandsch Inlandache School (HIS) di jalan Sulung, Rumah Lahir Bunga Karno (RLBK) di Pandean IV, Rumah HOS Tjokroaminoto di Jalan Peneleh VII, dan HBS di jalan Kebon Rojo. Ketika tiga BCB lainnya (Rumah Lahir Bybg Karno, Rumah HOS Tjokroaminoto dan HBS Kebon Rojo) sudah banyak diketahui publik, maka HIS yang kini menjadi SD Sulung juga perlu diangkat dan dipopulerkan melalui upaya revitalisasi lingkungan sekolah.

Menurut Retno Hastijanti, gedung HIS ini memiliki nilai sejarah yang cukup tinggi bagi Kota Surabaya, karena merupakan BCB yang dapat memvalidasi bahwa Bung Karno memang lahir di Surabaya dan memiliki masa balita di Surabaya.

“Saya berharap, pengelola BCB SD Sulung, dapat selalu berkoordinasi dengan Pemkot melalui Disbudporapar, utamanya terkait pemeliharaan bangunannya, terutama dengan Disbudporapar.  Sedangkan yang terkait dengan materi pendidikan, tentu dikoordinasikan dengan Dispendik”, begitu jelas Retno Hastijanti.

Untuk mendukung dan mengawali itu semua, menurut Prof. Basundoro adalah  penataan fisik agar secara dini keberadaan gedung bisa dilihat dan diketahui publik dengan mudah.

“Penataan fisik dan akses menuju area SD adalah prioritas sehingga keberadaan BCB diketahui oleh masyarakat luas. Selain itu narasi mengenai sejarah SD tersebut juga harus dibuat agar diketahui oleh khalayak.”, tandas Prof. Purnawan Basundoro.@Nanang

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...