Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Soe Hok Gie Tidak Suka Gaya Hidup Borjuis

REKAYOREK.ID Kisah anak muda berpolitik sekaligus tokoh intelektual bisa dijadikan contoh, yaitu sosok Soe Hok Gie.

Pemuda peranakan ini sudah sadar terhadap dunia di sekelilingnya sejak semasa di SMA. Soe Hok gie melihat ada kesenjangan ekonomi selama belajar di SMA Kanisius menjadi dasar jiwanya untuk selalu dekat dengan orang yang lemah.

Dalam buku Soe Hok Gie tulisan Jhon Maxwell diceritakan, di sana banyak murid berasal dari keluarga kaya yang tinggal di rumah-rumah mewah di kawasan Menteng. Soe Hok Gie menyebutnya “masyarakat borjuis”.

Ketika di Kanisius ini, Soe Hok Gie menulis puisi yang barapi-api dalam catatan hariannya, yang ditujukannya kepada salah seorang kawannya dari keluarga borjuis itu:

Masyarakat Borjuis

Untuk L.B.S.

Ada suatu yang patut ditangisi

Aku kira kau pun tahu

Masyarakatmu, masyarakat borjuis

Tiada kebenaran disana

Dan kalian selalu menghindarnya

Aku selalu serukan (dalam hati tentu)

“Wahai, kaum proletar sedunia”

berdoalah untuk masyarakat borjuis.”

Ada golongan yang tercampak dari kebenaran

Dan berdiri atas nilai kepalsuan

Aku kira, tiada bahagia disana

Sebab tiada kasih, kebenaran dan keindahan dalam kepalsuan

Aku akan selalu berdoa baginya

(aku sendiri tak percaya pada doa, maaf)

Aku kira anda tiada kenal kasih

(Nafsu tentu ada)

Apakah bernilai dengan uang

Dan padamu, kawan

Semua adalah uang, perhitungan saldo 

Tiada yang indah dalam kepalsuan

(Engkau tentu yakin?)

Di sinilah, amoral ditutup oleh amoral

Di sinilah, tabir-tabir yg terlihat

Dan seringkali aku bersepeda sore-sore

Bertemu dengan gadismu ( borjuis pula)

Aku begitu sedih dan kasih

Ya,Tuhan (aku tak percaya Tuhan) berilah mereka kebenaran

Aku tahu

Gadis cantik di mobil, bergaun abu-abu

Tapi bagiku tiada apa.

Ada ketidaksukaan yang sangat kuat terhadap sebutan borjuis karena terkait dengan kehidupan pribadi Soe Hok Gie.

Menjelang akhir 1950-an, paman Hok-gie, yaitu Soe Lie Foo saudara kandung ayah berhasil menjadi seorang pengusaha sukses dalam perdagangan ekspor-impor dan tinggal di sebuah rumah yang besar dan nyaman di kawasan Menteng.

Dua keluarga ini tidak pernah dekat, meskipun pada masa 1950-an pamannya mulai sesekali berkunjung ke Kebon Jeruk. Soe Hok Gie sangat tidak menyukainya dan berusaha menghindarinya kapanpun ia berkunjung.

Meskipun ia bersekolah di sekolah elite dan mendapatkan teman-teman baru dari golongan anak orang kaya, Soe Hok Gie tetap dekat dengan lingkungan Kebon Jeruk. Tetap bersahabat dengan teman-temannya di lingkungan itu, khususnya dengan Tjioe Tjin Hok, yang pernah berusaha ia lindungi dari bibinya yang kejam saat mereka masih di sekolah dasar. Tjin Hok sudah putus sekolah dan telah mendapatkan pekerjaan.

Ketika Soe Hok Gie menjadi murid SMA Kanisius, ia sekali lagi terpanggil untuk membantu kawannya ini. Pada waktu Tjin Hok menghadapi masalah besar dengan polisi karena dituduh mencuri, Soe Hok Gie membelanya. Dia sempat menjadi saksi di pengadilan karena percaya kawannya bukan pencuri.

Sejak masih di Kanisius, kritik-kritiknya yang tajam terhadap Presiden Sukarno dan tokoh-tokoh politik lain sudah dicatat di buku hariannya. Tanggal 10 Desember 1959 merupakan pernyataan eksplisit yang pertama dalam catatan hariannya tentang pemahamannya terhadap dunia politik.

Pengalamannya melihat seseorang yang kelaparan, yang mencari sisa-sisa makanan di tumpukan sampah dekat rumahnya di Kebon Jeruk, adalah hal penting yang membuatnya melontarkan kecaman pedas.

Dalam pandangan politiknya tidak dipengaruhi sang ayah, Soe Lie Plet yang tidak tertarik pada persoalan politik. Memang ikatan emosional antara Soe Hok Gie dengan ibunya terjalin kuat. Meskipun pendidikan formal ibunya terbatas dan pemahamannya sangat sederhana, namun Nio Hoei An senang mengobrol dengan Soe Hok gie tentang beberapa isu politik penting. Sementara Soe Hok Gie mendengarkan pendapat ibunya dengan hormat.

Sejak SMP Soe Hok-gie telah terbiasa membaca koran. Di rumahnya ada 2 koran yang selalu dia cari, yaitu Indonesia Raya pimpinan Mujtar Lubis dan Pedoman pimpinan Rosian Anwar.

Soe Hok Gie juga membaca terjemahan buku Milovan Djilas, The New Class, yang dimuat secara berseri di Indonesia Raya pada akhir 1957. Soe Hok Gie sangat dipengaruhi kritik Djilas yang tajam terhadap partai komunis di Yugoslavia.

Dua koran harian ini bahasanya sangat provokatif dan kadang-kadang pedas kepada pemerintah. Pada tanggal 21 Desember 1956 Mochtar Lubis ditahan.

Bagi Soe Hok Gie, inilah salah satu manifestasi awal kecenderungan kekuasaan otoriter. Ia ditahan lebih dari 4 tahun tanpa ada tuduhan yang dinyatakan.

Pemikiran Soe Hok Gie tentang arah politik juga diperkaya oleh bacaannya yang luas, khususnya tentang sejarah Indonesia modern. Selama tahun terakhir di SMP ia sangat terpengaruh oleh tulisan Sutan Sjahrir yang berjudul Renungan Indonesia. Ia mulai gelisah dengan perubahan politik yang pesat sepanjang dasawarsa 1950-an, setelah jatuhnya demokrasi parlementer gaya Barat.

Dalam tulisannya yang panjang pada pertengahan dasawarsa 1960-an, anak muda berusia 17 tahun ini mencoba membuat penjelasan sendiri mengenai pemikirannya tentang perjuangan kemerdekaan dan kesalahan apa yang kemudian terjadi.

Dari bagian dalam catatan hariannya terlihat bahwa selama masa remajanya Soe Hok Gie telah menjadi sangat terpengaruh oleh demokrasi, hak-hak individu, dan kebebasan.

Akibatnya, ia semakin khawatir menyaksikan bagaimana sistem demokrasi dihancurkan secara sistematis dan kebebasan pers dan berbicara terkikis. Erat kaitannya dengan kekhawatiran ini adalah sikap antipatinya, yang ia ekspresikan dengan kuat, terhadap bentuk pemerintahan totaliter, khususnya komunisme.

“Aku cuma bisa berpikir, betapa malangnya nasib bangsa yang cuma punya satu alternatif: totaliterisme. Moga-moga, terutama bagi Indonesia, cuma punya satu pilihan demokrasi,” tulis Soe Hok Gie.@pulung

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...