Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Sukarno Pernah Melamar Noni Belanda Tapi Ditolak

REKAYOREK.ID Sukarno menempuh pendidikan di HBS. Letaknya di seberang alun-alun atau bekas rumah Bupati Surabaya di Jalan Regentenstraat.

Saat itu Sukarno tinggal di rumah HOS Cokroaminoto. Jarak dengan sekolah sekitar 1 kilometer ditempuh dengan jalan kaki.

HBS dikenal dengan sekolah para raja. Siapapun yang menjadi siswa akan bangga saat memakai peci berbintang emas dan berpita.

Menurut Hermen Kartowisastra salah satu siswa HBS satu angkatan dengan Sukarno, jika sudah berstatus pelajar HBS pasti akan merasa lebih tinggi dari orang lain.

Pada tahun 1916 telah terjadi perang di Eropa. Dampak dari krisis perang tersebut banyak warga Belanda memilih menunda pulang dan terpaksa menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah di Hindia Belanda. Salah satunya HBS. Maka tahun ajaran tersebut jumlah siswa menjadi sangat banyak hingga 7 kelas setingkat.

Aturan di HBS Surabaya sangat ketat bagi murid Belanda dan pribumi. Pasal 2 dari peraturan sekolah menetapkan bahwa seorang murid yang berkelakuan baik dan menonjol karena kerajinan yang luar biasa kalau orang tuanya kurang mampu boleh mengikuti pendidikan tanpa membayar.

Jika melihat prestasi Sukarno yang sangat menonjol maka sebenarnya dia memenuhi syarat menjadi siswa yang belajar tanpa membayar. Namun karena pihak sekolah sangat mengenal R Sukemi ayah kandung, maka keputusan tersebut tidak berlaku bagi Sukarno.

Soal pergaulan antara warga pribumi dan warga Belanda serta orang indo keturunan, Sukarno punya catatan sendiri yang sangat berkesan.

Dalam wawancaranya dengan Cindy Adam, penulis Biografi Sukarno, seakan-akan digambarkan diskriminasi ras sangat kejam di sekolah HBS.

Sebagai contoh waktu seorang anak Belanda menghapus papan tulis, debu kapur berterbangan kemana-mana. Seorang guru yang melihat itu langsung marah dan menghardik, “Aah kau ini seperti orang Jawa saja”.

Namun tidak semua praktek diskriminasi ini diterapkan di sekolah HBS. Sukarno punya pengalaman khusus yaitu beberapa guru justru bersifat anti kolonial, atau istilahnya pendukung politik etis. Salah satunya guru Bahasa Belanda ayah dari van Mook. Suatu pengarahan yang tidak tertulis namun sangat dipatuhi di HBS, yaitu para murid dilarang memberi perintah kepada pembantu (pribumi). Namun jika di rumah suasana antara pribumi dan watak kolonial tersebut bisa jadi berbeda.

Selama di HBS Sukarno dikenal lebih suka menghindari dansa, namun suka mengejar perempuan. Khususnya anak-anak perempuan Belanda di HBS.

Ada alasan Sukarno ingin menguasai orang Belanda. Menurutnya menundukan seorang gadis kulit putih membuatnya bisa ditentukan harga dirinya. Namun siapa yang berhasil ditundukan oleh Sukarno masih diagukan.

Sumbangan dari keterangan teman-teman Sukarno untuk buku yubelium membenarkan, bahwa pemuda pendiam dan kutu buku ini senang mendekati gadis gadi cantik seperti Paulien Gobee, putri salah seorang guru. Serta kakak beradik berdarah Indo bernama de Raat. Akan tetapi Wim Voll bercerita bahwa perhatian Sukarno kepada gadis gadis Belanda hilang sama sekali, saat dia jatuh cinta kepada Mientje.

“Ia selalu dicegat Sukarno dengan mencuri curi perhatian saat mau naik atau turun dari trem,” kata Wim Voll.

Sementara melalui buku Bung Karno Masa Muda, kakak Sukarno yakni Wardoyo mengisahkan kelakuan adiknya. Tak terhitung jumlah gadis Belanda yang dikejar Sukarno. Apalagi sang Ayah mendukung agar kemampuan Bahasa Belanda Sukarno meningkat.

“Sebut saja Paulina Gobee, Laura, putri keluarga Raat, dan Mien Hessels. Mien Hessels inilah yang paling digilai Sukarno di usia 18 tahun,” tulis buku tersebut.

Rasanya Sukarno bersedia mati untuk Mien Hessels. Tidak ada yang diharapkan selain percintaan yang serius dan berani. Sukarno menyebut Mien dengan sebutan Si Gadis Belanda yang anggun, kulitnya putih lembut bagai kapas, rambutnya kuning ikal, dan pipinya merah mawar.

Sukarno begitu tergila-gila kepada Mien. Kemana Sukarno pergi Mien selalu diajak, dan dibonceng dengan sepeda.

Saking cintanya dengan dengan Mien Hessels, Sukarno nekad melamar noni Belanda tersebut. “Mien Hessels nilainya lebih dari segala harta bagiku. Akhirnya aku memberanikan diri untuk berbicara kepada bapaknya,” katanya dalam buku otobiografinya.

Sukarno pun mengenakan pakaian yang terbaik dan memakai sepatu. Ia duduk di kamarnya yang gelap, lalu memikirkan kata-kata apa yang hendak diucapkan kepada ayah Hessels. Tibalah waktu Sukarno datang ke rumah Hessels yang bagus. Rumah dengan pekarangan penuh pohon hijau. Sukarno agak grogi begitu melangkahkan kakinya ke teras rumah gadis pujaannya itu.

“Aku tidak punya topi untuk dipegang, karena itu sebagai gantinya aku memegang hatiku,” katanya mengenang peristiwa menegangkan tersebut.

Di teras rumah Hessels sudah berdiri seorang tinggi besar. Dialah ayahanda Mien Hessels. Ia memandang Sukarno dengan muka tidak senang. Tapi Sukarno tetap nekat menghampiri. Dengan badan bergetar serta sangat gugup, Sukarno menyampaikan permintaan meminang Mien sambil terbata-bata.

“Tuan, kalau tuan tidak berkeberatan, saya ingin minta anak tuan.” Kata Sukarno

Ayah Mien Hessels sangat terkejut dengan ucapan Sukarno. Sudah diduga, ayah Hessels membentak Sukarno.

“Kamu apakah sudah gila, kau pribumi mesum semacam kau?” kata ayah Mien Hessels dengan nada sangat tinggi.

Perasaan Sukarno seketika seperti dicambuk-cambuk. Peristiwa penolakan ini menyisakan traumatis bagi Sukarno. Ia keluar dari pekarangan rumah Mien Hessels dengan membawa hati yang perih. Ayah Mien Hessels menolak Sukarno dengan alasan pribumi dilarang memadu kasih dengan seorang anak Belanda.

Hal ini sangat menyakitkan bagi Sukarno sekaligus menjadi landasan semangat dirinya untuk cepat merdeka dan bebas dari belenggu penjajahan Belanda. Sakit Hati Sukarno Dilampiaskan pada Klub Diskusi Kemerdekaan di HBS

Seperti dikutip dari Walentina Waluyanti De Jonge dalam bukunya yang berjudul “Tembak Bung Karno Rugi 30 Sen” Sukarno sangat tersinggung akan menjadi “tanda” bahwa dirinya kelak bisa “membalas dendam” keluarga Mien yang merendahkan pribumi.

Hingga suatu masa yang berubah pada tahun 1942 masa pendudukan Jepang, rupanya Sukarno dipertemukan kembali dengan Mien Hessels. Saat itu Bung Karno baru tiba dari pengasingan Bengkulu tengah jalan-jalan di Jakarta. Tiba-tiba disapa oleh sosok wanita Belanda gemuk, tua, dan tidak rupawan. “Dapatkah kau menebak siapa aku?” Tanya wanita itu pada Bung Karno.

“Aku Mie Hessels,” katanya. Tentu saja Sukarno terkejut seraya melakukan reaksi kocak.

“Ratuku yang cantik seperti bidadari itu sudah berubah jadi wanita sihir,” kata Sukarno spontan.

Dengan cepat Sukarno membalas salam dan terus berjalan sembari mengucap syukur, karena caci-maki yang telah dilontarkan ayahnya dulu sesungguhnya adalah rahmat yang terselubung.

“Aku berterima kasih atas perlindungan Tuhan,” kata Sukarno dalam hati.

Setelah Sukarno memproklamasikan kemerdekaan, dan menjadi Presiden RI pertama, membuat dirinya sibuk mengunjungi berbagai tempat di Indonesia guna mengetahui kondisi rakyatnya. Salah satu tempat yang dikunjungi yaitu Kota Surabaya kota kelahirannya.

Di tempat itu Sukarno sengaja menemui Mien si gadis Belanda yang pernah ditaksir semasa remaja. Ternyata selama pendudukan Jepang dan jaman agresi militer Belanda, Mien Hessels akif mengelola rumah perawatan anak cacat yang bernama Jajasan Pertolongan kepada Anak Tjatjat (JPAT). Pertemuan tersebut berlangsung hangat dan jauh lebih dewasa.

Sukarno sempat memeluk Mien Hessels, seorang wanita yang pernah menjadi bagian sejarah hidupnya.

Sementara itu menurut catatan Walentina, saat keduanya bertemu di Surabaya itu, Sukarno menyebut Mien sebagai perempuan tua, jelek dan badannya tidak terpelihara.

Namun belakangan Sukarno menyadari bahwa perkataannya bisa menyakitkan hati Mien Hessels. Hingga akhir hayatnya nama Mien Hessels selau dikenang dan menyampaikan permintaan maaf atas kejadian masa lalu.@pulung

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...