Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Bahu Laweyan #3

Raganya Dikuasai Makhluk Jahat, Suami Kedua Meninggal

Oleh: Jendra Wiswara

Getir. Pahit. Nunuk menatap hidup.

Kepergian suaminya secara tiba-tiba telah menggoyahkan hati Nunuk.

Belumlah usia pernikahan mereka genap 2 tahun, namun bahtera itu telah digoncang prahara.

Di saat Nunuk tengah menikmati kebahagiaan menjadi seorang istri, suaminya justru meninggal tanpa diketahui penyebab penyakitnya.

Hari-hari Nunuk dihabiskan dengan tangis kesedihan. Berulangkali bapaknya berusaha menasehati Nunuk agar tidak terus-terusan larut dalam kesedihan. Namun hal itu tidak diindahkan Nunuk. Hatinya sudah terlanjur luka. Ditinggal pergi suami adalah pengalaman terperih yang pernah ia rasakan.

“Hati ini rasanya hancur. Suami pergi jauh. Nyawanya tidak tertolong. Padahal saya sudah berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkannya. Semua itu sia-sia,” kenang Nunuk.

Kepergian Wardi selain membuat shock Nunuk, juga menimbulkan tanda tanya. Pasalnya, sakit yang diderita Wardi dianggap tidak wajar.

Bagi orang awam, mungkin kepergian suami Nunuk adalah hal yang wajar. Akan tetapi bagi orang yang memiliki mata batin kuat, kepergian Wardi dianggap sebagai sebuah malapetaka.

Seorang tetua kampung sempat mendatangi rumah Nunuk. Kepada bapak Nunuk, dia menyampaikan sebuah keganjilan atas kepergian menantunya tersebut.

“Tidak sewajarnya kepergian menantumu. Aku melihat ada kekuatan gaib yang menyertainya,” kata sesepuh kampung.

“Kekuatan gaib seperti apa?” Tanya bapak Nunuk penasaran.

“Ini seperti teluh tapi bukan teluh. Penyakit ini juga bukan buatan manusia. Dan yang menjadi penyebabnya adalah kutukan bawaan anakmu.”

“Kutukan!” Bapak Nunuk spontan kaget mendengar hal tersebut.

Ia masih tidak percaya anaknya menjadi penyebab kematian suaminya. Bagaimana mungkin anaknya dikutuk. Siapa yang mengutuk? Selain itu anaknya tidak pernah berbuat hal-hal aneh sepanjang hidupnya.

“Tidak mungkin anakku penyebab kematian suaminya. Anakku tidak pernah berbuat hal-hal aneh. Bahkan di antara keluarga kami tidak ada yang melakukan hal-hal aneh,” bantah sang bapak.

Sesepuh kampung itu lantas menjelaskan kutukan bukan berarti orang yang dikutuk telah melakukan kesalahan di masa silam. Kutukan itu datang sejak lahir atau dikenal sebagai manusia “panas” yang mendatangkan malapetaka bagi pasangan hidupnya.

“Namanya bahu laweyan,” kata sesepuh kampung sembari menambahkan, “tapi semoga saja penglihatanku ini salah. Semoga semua kejadian ini hanya kebetulan saja.”

Sejak itu, baik bapak Nunuk maupun sesepuh kampung sepakat untuk tidak mengungkit-ungkit lagi masalah bahu laweyan. Mereka tidak mau orang-orang kampung mengetahui bahwa Nunuk adalah perempuan bahu laweyan.

“Ya, bapak dan sesepuh kampung sepakat untuk tidak mau membahas bahu laweyan yang melekat pada diri saya. Lagipula mereka tidak mau menyimpulkan lebih jauh soal itu. Awalnya saya memang tidak diberitahu. Khawatir saya kaget dan kabur dari rumah. Mungkin mereka menganggap meninggalnya mas Wardi hanya kebetulan. Namun ketika saya menikah untuk kedua kalinya. Kejadian serupa pun terulang.”

***

Ya, seiring berjalannya waktu, tahun berganti tahun, Nunuk lambat laun mulai dapat melupakan suaminya. Nunuk sudah tidak ingat lagi bahwa dulu ia pernah menikah.

Keadaanya kini berangsur-angsur normal. Ia bahkan kembali menjadi perempuan ceria. Hari-harinya dihabiskan membantu bapaknya di sawah.

Hinga suatu hari, datanglah seorang lelaki ke rumah Nunuk. Laki-laki itu bernama Iwan. Seorang pengusaha peternakan di kampung yang terbilang sukses. Tujuannya untuk melamar Nunuk.

Iwan sendiri tidak kenal Nunuk. Hanya saja, laki-laki itu sudah mengetahui status Nunuk seorang janda di usia muda. Karena itu Iwan bertekad untuk melamar Nunuk untuk dijadikan istri.

Awalnya bapak Nunuk keberatan. Bapak Nunuk khawatir peristiwa masa lalu akan kembali terulang.

Kenangan pahit masa lalu itulah yang menghantui bapak Nunuk. Ia tidak ingin anaknya menikah dan kemudian ditinggal mati suaminya untuk kedua kali. Apalagi sesepuh kampung pernah berpesan bahwa Nunuk adalah perempuan ‘tidak biasa’. Ia adaah perempuan bahu laweyan.

“Apa yakin kamu mau menikahi anakku?” Tanya sang bapak.

“Saya yakin mau menikahi Nunuk. Saya sendiri masih lajang,” kata Iwan.

Buru-buru Nunuk dipanggil dari dalam kamarnya. Bapaknya mempertemukan Nunuk dan Iwan. Sang bapak menyampaikan tujuan Iwan datang ke rumah untuk melamar.

“Bagaimana, Nduk. Apakah kamu mau dinikahi pemuda ini?” Tanya bapak.

Nunuk waktu itu hanya diam. Ia duduk terpekur seperti patung. Tidak ada jawaban dari bibir manisnya. Namun sesekali ia mendongakkan kepala memandang wajah Iwan. Lalu senyum tersungging.

“Bagi seorang perempuan, diamnya itu emas. Cukup membalas dengan senyuman saja sudah menjadi jawaban. Saya tidak menjawab, tapi saya juga tidak menolak pinangan Iwan.”

Melihat wajah anaknya sumringah hendak dilamar lelaki, sang bapak luluh dalam kebisuan. Pesan sesepuh kampung agar mewanti-wanti anaknya menikah, lupa dengan sendirinya.

Hari itu juga Nunuk menerima pinangan Iwan.

Nunuk akhirnya menikah untuk kedua kalinya.

Seperti pernikahan sebelumnya, pernikahan Nunuk kedua dimulai dengan kebahagiaan. Namun Nunuk tidak tahu, bahwa di tengah kebahagiaan itu ada resiko kematian bagi pasangannya.

Dalam tubuh Nunuk telah bersemayam makhluk halus jahat yang sewaktu-waktu dalam mencelakakan suaminya. Selama ini tubuh Nunuk hanya dipinjam sebagai wadah oleh makhluk halus jahat yang ingin menguasainya. Karenanya, ketika ada laki-laki yang imengawininya, makhluk halus ini tak rela dan membunuhnya.

“Saya awalnya bahagia menjadi isri Iwan. Kami tidak pernah mengalami kejadian aneh. Iwan tidak pernah mengalami sakit seperti yang dialami mantan suamiku. Namun belum genap setahun, kejadian meninggalnya suami terulang. Ya, suamiku mengalami kecelakaan saat hendak mengirim hewan ternaknya ke luar kota. Akibat kecelakaan itu, Iwan meninggal dunia di lokasi kejadian.”   

Untuk kedua kalinya Nunuk menjadi janda. Kebahagiaan yang sempat direguk Nunuk seketika hilang. Perempuan itu kembali dirundung kesedihan mendalam.

Kesedihan itu serupa turut dirasakan bapaknya. Menengok ke belakang, ia langsung teringat pesan sesepuh kampung soal bahu laweyan. Ia bertanya-tanya, apa benar anaknya seorang bahu laweyan?

Dua kali anaknya menikah, dua kali ditinggal mati suaminya. Bapaknya tidak bisa membayangkan jika Nunuk menjadi perempuan pembawa petaka bagi suami-suaminya. Padahal kalau dilihat sekilas, anaknya seperti kebanyakan perempuan.

Malah bapaknya sangsi Nunuk memiliki kekuatan untuk menyakiti suaminya. Apalagi sampai membunuh.

Saat kematian suami pertama, orang memang belum curiga dan menganggapnya kematian biasa. Sang bapak lantas mulai berpikir dua kali setelah melihat kejadian menimpa suami Nunuk yang kedua.

Maka, dipanggillah Nunuk oleh bapaknya. Dia dipertemukan dengan sesepuh kampung. Nunuk kemudian dijelaskan soal kondisinya tersebut.

Awalnya Nunuk tidak dapat menerima kenyataan bahwa dirinya disebut-sebut sebagai perempuan bahu laweyan. Namun melihat kejadian yang menimpa suami-suaminya, Nunuk pun akhrinya pasrah.

“Saya sebetulnya tidak percaya dengan sebutan bahu laweyan. Sebab suami-suamiku meninggal akibat kebetulan saja. Namun sejak kejadian meninggalnya dua suamiku, cap bahu laweyan mulai menempel. Ke mana pun saya pergi selalu dilihat orang sebagai perempuan pembawa sial, terutama bagi kaum lelaki.”[bersambung]

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...