Bahu Laweyan #33
Sebuah Perpisahan
Oleh: Noviyanto Aji
Nunuk siuman. Dia terbangun dan mendapati dirinya tertidur di luar surau. Persis di depan warung. Suasana sepi senyap.
Nunuk celingukan. Batinnya bertanya-tanya, bagaimana dia bisa berpindah tempat. Apakah tadi Sahid menggendongnya. Rasanya tidak mungkin.
Dan yang membuatnya pingsan, cahaya itu. Seluruh badannya tiba-tiba tak sanggup untuk bergerak. Jantungnya serasa berhenti berdetak. Aliran darahnya mengendap. Seluruh panca indranya tidak berfungsi. Untuk sesaat, Nunuk seperti dimatikan.
Peristiwa ini di luar nalar manusia. Pemandangan yang tidak biasa. Layaknya butiran debu yang terbatas fana, abadi tanpa perantara. Kejadian itu menjadi peristiwa yang menakutkan sekaligus membingungkan. Tak kuasa Nunuk melihat kebesaran Allah.
Dan kini, Nunuk seperti dihidupkan lagi. Kali ini kesadaran Nunuk melebihi batasnya. Dia kembali pada dirinya, dan mengetahui ukuran kemampuannya.
“Maha Suci Engkau, Maha Tinggi Engkau, aku bertaubat hanya kepadaMu,” kata Nunuk lirih.
Nunuk lantas bangkit. Dia mendapati Sahid berdiri di tengah hutan.
“Kau sudah bangun, Dik!” Sahid menghampiri istrinya.
“Iya, Mas. Terima kasih, kau tadi telah menjadi imamku.”
Tidak ada yang perlu diceritakan dari kejadian menakjubkan tadi. Keduanya sama-sama tahu. Nunuk tidak perlu bertanya ke Sahid, begitu pula Sahid tidak perlu memberi penjelasan.
“Lupakanlah. Yang penting sekarang kau sudah tahu.”
“Iya, Mas.”
Kendati demikian, Nunuk masih bertanya-tanya apa yang hendak dilakukan Sahid. Sebab dia berdiri di tengah hutan membelakangi Nunuk, seolah sedang menatap sesuatu di sana.
“Mas, sedang apa?” Tanya Nunuk penasaran.
“Aku sedang melihat saja. Ternyata mereka banyak,” sahut Sahid.
Nunuk tidak paham maksud suaminya.
“Mereka siapa?”
Sahid lantas berbalik badan. Menatap wajah istrinya. Lalu berkata, “Kamu percaya dengan aku kan?”
“Iya, Mas.”
“Kamu yang tenang. Berdoa saja,” kata Sahid memegang bahu istrinya, menenangkannya dan melepaskannya.
Nunuk mengangguk, tapi dia tidak tahu maksud dari perkataan Sahid.
Laki-laki itu kemudian maju ke depan dan berkata dengan lantang. “Kalian bangsa jin. Tampakkan wujud kalian.”
Mendengar seruan Sahid, ribuan bangsa jin yang menghuni hutan satu persatu menampakkan wujudnya.
Mata Nunuk terbelalak. Dia tidak menduga, di depan matanya ribuan jin menampakkan wujud. Yang tadi dimaksud Sahid ‘mereka banyak’, Nunuk tidak mengira akan sebanyak itu.
“Saya tidak menyangka jumlah jin yang menampakkan wujud mencapai ribuan. Semua jin-jin itu tunduk pada perintah Mas Sahid. Tidak ada yang berani berbicara tanpa perintah Mas Sahid. Mereka diam.”
Ribuan jin yang menampakkan wujud itu rupanya bermacam-macam. Ada yang menyerupai binatang, ada yang menyerupai manusia, dan ada yang wujudnya sangat mengerikan. Nunuk melihat itu.
Yang membuat Nunuk heran, ribuan jin itu menundukkan kepala. Mereka tak berani menatap wajah Sahid. Seolah-olah ada kekuatan Maha Besar yang membuat mereka takut. Beberapa dari mereka ada yang langsung duduk bersimpuh di hadapan Sahid.
“Aku tahu tujuan kalian berkumpul di sini. Kalian ke sini hanya ingin mengiringi kepergianku.”
“Hah, Mas Sahid mau pergi!” Batin Nunuk. Dia lalu memandang ke wajah suaminya.
“Sebelum pergi, aku meminta pada kalian jangan sekali-sekali menggoda anak manusia.”
Semua jin mengangguk.
“Mana Gendro Swara Pati?” Panggil Sahid.
Nunuk terkejut mendengar nama itu dipanggil.
Tak lama, sesosok jin bertubuh tinggi besar, berbulu hitam, bermata merah, dan bertaring, muncul di antara ribuan jin.
Sosok itu berjalan gontai. Tak mampu dia memandang wajah Sahid. Sementara Nunuk tidak henti-hentinya memperhatikan sosok menyeramkan tersebut. Baru kali ini dia dapat melihat wujud Gendro Swara Pati.
Selama ini dia hanya berbicara dengan Gendro Swara Pati, dan tubuhnya kerap dijadikan media untuk menyakiti orang. Namun tak disangka, di hadapan Sahid, makhluk itu tidak berdaya.
Gendro Swara Pati langsung duduk bersimpuh di hadapan Sahid. Mengapurancang.
“Saya Gendro Swara Pati, Kyai,” makhluk itu memperkenalkan diri sembari mengapurancang mirip seorang junjungan pada rajanya. Dia sama sekali tidak berani memandang wajah Sahid.
Sejenak suasana menjadi hening. Ribuan mata para jin tertuju pada Gendro Swara Pati. Mereka penasaran apa yang akan dilakukan Sahid. Begitu pula Nunuk.
“Kamu selalu haus tumbal manusia. Sudah enam orang jadi tumbalmu. Apa kamu mau hidup abadi. Apa kamu ingin mempunya kekuatan besar,” nada Sahid lantang, seperti guru sedang memarahi muridnya.
Gendro Swara Pati hanya tertunduk.
“Semua tumbalmu punya hak untuk hidup. Dan, kau tidak punya hak atas nyawa mereka,” kata Sahid.
Gendro Swara Pati mengapurancang lagi. Dia tidak berani membantah ucapan Sahid.
“Sekarang aku sudah menjadi suami Nunuk. Kau butuh satu tumbal lagi. Silahkan ambil nyawaku,” tantang Sahid.
“Ampun Kyai, saya tidak berani. Ampun Kyai…ampun Kyai…” suara Gendro Swara Pati mengiba, dia mengapurancang lagi.
Plokkk!
Tiba-tiba Sahid menampar makhluk menyeramkan itu. Sebuah tamparan kecil, tidak kencang, tapi membuat Gendro Swara Pati terguling-guling hingga jauh.
Ribuan jin yang melihat kejadian itu langsung tertunduk. Mereka tidak berani menolong Gendro Swara Pati. Mereka seperti menyadari bahwa Sahid memang memiliki maqom seorang Waliyullah. Berurusan dengan kekasih Allah akan berakibat buruk bagi mereka.
“Sekarang bangun,” panggil Sahid lagi.
Gendro Swara Pati bangkit lagi. Dia berusaha menjaga keseimbangannya agar tidak jatuh. Tamparan tadi benar-benar sangat keras.
Gendro Swara Pati berjalan terhuyung-huyung ke Sahid. Saat tiba di hadapan laki-laki itu, Gendro Swara Pati kembali duduk bersimpuh.
“Ampun Kyai…” suaranya mengiba sembari mengapurancang.
Nunuk melihat bekas tamparan Sahid seperti membakar wajah Gendro Swara Pati. Makhluk itu meringis kesakitan yang luar biasa.
Plokkk!
Lagi.
Sahid menampar wajah Gendro Swara Pati. Kali ini ganti di pipi satunya.
Untuk kesekian kalinya makhluk itu terjungkal ke belakang, jauh, hingga 100 meter. Terguling-guling. Sementara ribuan bangsa jin hanya diam mematung. Mereka tidak berani menolong Gendro Swara Pati.
Gendro Swara Pati bangkit lagi. Tanpa diperintah, dia kembali menghadap ke Sahid. Duduk bersimpuh. Mengapurancang. Tidak bersuara. Pasrah jika harus mati di tangan Sahid.
Tamparan kedua itu juga membakar pipi Gendro Swara Pati. Sepertinya tamparan itu akan membekas selamanya.
“Tamparan tadi untuk pengingatmu. Apa kamu masih ingin mencari tumbal anak manusia?”
“Ampun Kyai, tidak lagi!” Seru Gendro Swara Pati mengapuranjang, menundukkan wajahnya jauh ke tanah. Berharap agar Sahid memberinya ampun.
“Aku bisa berdoa pada Allah untuk membakarmu.”
“Ampun Kyai, jangan bakar saya,” rengek Gendro Swara Pati.
“Jika kamu masih mencari tumbal anak manusia, aku akan mendoakanmu supaya dilaknat Allah, bahkan hingga aku mati sekalipun, ruhku akan terus mendoakanmu supaya Allah melaknatmu,” ancam Sahid.
“Ampun Kyai, saya tidak berani lagi. Saya kapok!” Gendro Swara Pati meminta ampun.
“Baiklah. Sekarang kalian pergi. Alam jin dan manusia berbeda,” perintah Sahid.
Lamat-lamat ribuan jin itu menghilang dari pandangan mata. Gendro Swara Pati pun pamit, mengapurancang dan menghilang.
Nunuk masih berdiri terpaku. Dia belum percaya dengan kejadian yang baru saja dialami.
Suasana hutan menjadi hening. Hanya menyisakan suara binatang yang saling bersahut-sahutan.
Sahid mendekati Nunuk.
“Dik, mulai sekarang Gendro Swara Pati tidak akan mengganggumu untuk selamanya.”
“Apakah benar itu, Mas?”
“Sejak Nabi Adam hingga sekarang, bangsa jin tidak pernah berhenti menggoda anak manusia. Mereka akan berusaha mencelakakan manusia. Gendro Swara Pati sekarang tidak akan berani mendekatimu. Kamu telah terbebas. Tapi dia dan jin-jin lain akan terus menggoda anak manusia.”
Sahid menjelaskan, bahwa Rasulullah SAW menggambarkan, kelompok jin ada tiga golongan, yakni golongan yang bisa terbang di udara, golongan ular dan anjing, serta golongan yang bermukim dan hidup berpindah-pindah.
“Bisa jadi saat ini Gendro Swara Pati termasuk golongan jin yang berpindah-pindah.”
“Apa dia tidak bisa dimusnahkan?”
“Rasulullah SAW pernah menangkap jin Ifrit karena menganggu sholatnya. Beliau bermaksud mengikatnya pada salah satu tiang masjid hingga dapat dilihat semua orang. Tetapi, beliau teringat Nabi Sulaiman dan mengurungkannya. Urusan menghidupkan dan mematikan adalah urusan Allah. Aku juga tidak punya hak mematikan ciptaanNya. Yang jelas akan ada jenis jin yang nantinya dimintai pertanggungjawaban dan disiksa.”
Mendengar penjelasan itu, Nunuk hanya bisa mengangguk dan langsung memeluk suaminya.
“Terima kasih, Mas,” ucap Nunuk.
“Lupakanlah, Dik. Ambil saja hikmah dari semua kejadian ini. Pesanku padamu, jangan pernah putus untuk mengingat Allah.”
Kata-kata Sahid bagaikan sebuah perpisahan. Sama seperti saat dia berkata pada ribuan jin tadi.
“Apakah Mas Sahid akan pergi?” Tanya Nunuk masih mendekap suaminya.
“Aku tidak bisa menetap lama, Dik. Aku harus pergi lagi,” Sahid melepaskan dekapan Nunuk. Memandang wajah cantik itu, lantas mencium keningnya.
“Aku harus bagaimana, Mas?”
“Setelah ini, kunjungilah anak-anakmu. Tapi biarkan anak-anakmu mengenyam ilmu agama dengan bapaknya,” pesan Sahid.
Laki-laki itu sepertinya tahu banyak hal soal Nunuk dan keluarganya, meski sang istri belum sempat menceritakannya.
“Apakah kita akan bertemu lagi, Mas?” Harap Nunuk.
“Kau tetap menjadi istriku hingga ajal menjemput, itu pun kalau kau masih bersedia menjadi istriku. Andai pun kau mau kembali ke mantan suamimu, aku tidak melarang.”
Nunuk kembali mendekap suaminya. Dibalas Sahid dengan melingkarkan kedua tangannya ke punggung istrinya.
Perempuan itu sangat paham dengan tujuan suaminya. Dia adalah Wali Allah. Meski baru sehari menikah dan hari itu juga harus berpisah untuk waktu lama, dia tetap ikhlas.
“Aku ikhlas Mas Sahid selamanya menjadi suamiku hingga ajal menjemput, walau kita tidak bertemu. Aku tahu pernikahan kita karena Allah. Aku tahu Mas Sahid dikirim Allah untukku. Dan aku tahu suamiku akan pergi lagi karena urusannya dengan Allah belum selesai. Aku tidak akan meragukan sedetik pun keputusan suamiku.”
Sahid menyorongkan tubuh Nunuk ke depan. Memandanginya dengan penuh kasih. Wajah dua insan itu saling berpandang-pandangan. Sebentar lagi mereka akan dipisahkan oleh waktu. Namun tidak nampak beban di antara mereka. Sebab beban-beban itu sudah diangkat oleh Allah.
Sahid menyeka airmata istrinya. Berharap agar istrinya tidak khawatir lagi. Harapan itu seperti gema suara Ilahi di telinga penghuni langit. Kelak, harapan itu akan mempertemukan mereka lagi.
“Semoga Allah menyayangimu. Semoga Allah menyayangi orang-orang terkasihmu,” doa Sahid seraya mencium kening istrinya.
“Sekiranya kau ada waktu, kunjungilah pesantrenku di Demak. Ajak anak-anakmu. Ajak juga bapak. Di sana kau akan bertemu keluargaku. Mereka juga keluargamu. Buka buntelanku yang ada surau. Kau akan tahu tempatnya. Tapi jangan harap kau bisa bertemu denganku.”
“Bagaimana aku bisa bertemu lagi dengan Mas Sahid?”
“Aku yang akan menemuimu, Wassalamualaikum,” ucap Sahid penuh keyakinan.
“Waalaikumsalam,” balas Nunuk.
Itulah pesan terakhir Sahid. Tidak ada kata-kata romantis. Singkat dan padat.
Dan, Wali Allah tersebut segera menghilang dari pandangan mata.
Untuk kesekian kalinya Nunuk dibuat takjub.
“Subhanallah,” itulah sebait untaian kalimat yang mengiringi ketakjubannya.
Kini tinggal Nunuk seorang diri. Sendirian di tengah hutan dengan suasana malam pekat. Sepi. Hening. Bedanya, hutan tersebut tidak lagi angker dan menakutkan.
Sepeninggal Sahid, Nunuk hanya bisa tersenyum mengenangkan peristiwa demi peristiwa yang menakjubkan. Senyum itu…ya itu adalah senyum kebahagiaan.
[tamat]