Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Bahu Laweyan #37

Turun Gunung

Oleh: Jendra Wiswara

Suud pamit pulang. Sebelum pergi, pedagang sayur itu sempat menuliskan alamat lengkap Sahid dalam huruf latin di kertas kosong yang telah diterjemahkan dari Arab Pegon. Ya, supaya Nunuk dapat membacanya.

“Aku pamit pulang dulu ya, Ning. Kapan-kapan ceritanya dilanjut,” kata Suud.

Motor distarter. Laju motor mulai digas, perlahan meninggalkan warung. Namun belum sampai lima meter, Nunuk buru-buru mencegat. Sepertinya ada yang tertinggal.

“Mas Suud,” teriak Nunuk. Motor direm mendadak. Suud menoleh.

“Iya, Ning!” Balas Suud dengan teriakan.

“Mana salam wong ganteng pulang!” Canda Nunuk.

“Gak ada, Ning. Malu sama Mas Sahid. Aku kalah ganteng,” sahutnya.

Nunuk tersenyum mengiringi kepergian Suud. Saat motor baru turun, Suud sempat berpapasan dengan pencari kayu. Gaya khas Suud muncul.

“Wong ganteng pulang, wong ganteng pulang!” Seru Suud kemudian menghilang dari pandangan mata.

Nunuk kembali sendiri. Termenung.

Hari-hari indahnya telah dilewati. Tak ada lagi Gendro Swara Pati. Tak ada lagi tumbal manusia. Nunuk terbebas dari belenggu. Menjadi manusia bebas. Cap perempuan bahu laweyan sebagai pembawa petaka, perempuan kutukan, akan hilang dengan sendirinya.

Kendati demikian, Nunuk masih menyimpan sebuah asa. Ada perasaan tertinggal yang terus membayanginya. Perasaan kuat untuk bertemu suaminya.

Kertas terjemahan Suud dibuka. Diteliti. Dibaca. Tulisan latin singkat. Hanya alamat.

Nunuk mengamatinya. Berkutat dalam pikiran sendiri.

“Aku harus mencari Mas Sahid,” batinnya.

Sebelum pergi ke Demak, Nunuk teringat pesan Sahid agar mengajak anak-anaknya. Itu berarti dia harus bertemu dengan anak-anaknya terlebih dahulu.

Ya, sudah sangat lama Nunuk tidak bertemu dengan anak-anaknya. Setelah terbebas dari Gendro Swara Pati, setiap waktu Nunuk dapat menemui mereka. Aisyah, Fatimah, Muhammad, bagaimana kabarnya sekarang.

“Sudah 6 tahun saya tidak bertemu dengan anak-anak. Saya sengaja tidak bertemu mereka sesuai pesan Mas Iksan. Sebelum lepas dari Gendro Swara Pati, saya tidak boleh menemui anak-anak. Jujur, saya cukup memendam perasaan ini. Saya dan Mas Iksan sepakat untuk tidak bertemu anak-anak demi kebaikan mereka. Dan, sekarang waktu 6 tahun berlalu. Saya juga sudah terbebas dari Gendro Swara Pati. Saya harus bertemu dengan anak-anak.”

Kasih ibu sepanjang masa. Nunuk tidak lupa pribahasa itu. Salah satu kewajiban seorang ibu. Tak mungkin lupa. Selama 6 tahun tidak bertemu anak, tentu kerinduan Nunuk kian menjadi-jadi. Nunuk diam dalam kesunyian hutan gunung Penanggungan. Diam dalam segala cara. Merasa kurang mampu menjadi seorang ibu sebagaimana yang dikehendakinya.

Sehari itu Nunuk tak mau makan. Dan dia tidak merasakan perutnya keroncongan. Tapi dia yakin tidak akan roboh pingsan karena tidak makan. Itu juga keyakinan yang dimuliakan. Apa susahnya membayangkan saat-saat bertemu anak. Yang susah justru saat 6 tahun memendam rindu pada mereka.

Dulu sewaktu berpisah, Aisyah masih berusia 8 tahun. Kini sudah 14 tahun. Fatimah 6 tahun. Kini sudah 12 tahun. Dan Muhammad 2 tahun. Kini sudah 8 tahun.

“Apakah mereka masih mengenaliku?” Nunuk bertanya pada diri sendiri.

Nunuk sulit membayangkannya. Dan mengertilah ia telah masuk dalam bayangannya sendiri. Dalam perkara ini tidak bisa asal dibayangkan. Pikirannya bukan lagi pada kerinduan bertemu anak, tapi pada kewajibannya untuk membayar segala waktu yang telah terlewatkan.

Pada wajahnya tergambar sebuah rencana yang panjang dan mungkin berliku-liku. Satu terlewati, kini Nunuk harus melewati jalan lain. Makin jelas jalan-jalan yang akan dilewati Nunuk. Sudah terbentang di matanya.

“Ya, aku harus pergi ke Kediri,” ujarnya lirih.

Nunuk pun bangkit dari tempat duduknya. Masuk ke dalam rumah. Mengemas pakaian. Dan membawanya ke luar. Sebelum akhirnya dia mengunci pintu rumah yang juga warung tersebut.

Perempuan bahu laweyan itu mulai berjalan gontai. Menjinjing tas berisi pakaian. Lalu turun ke bawah. Sempat menengok ke belakang. Melihat rumah yang telah dihuninya selama 6 tahun. Gara-gara Gendro Swara Pati, dia harus menyepi di hutan. Meninggalkan orang-orang terkasihnya.

Rumah itu, ya, juga menyimpan banyak kenangan. Selama 6 tahun Nunuk tidak pernah meninggalkan rumah itu. Kecuali hanya pergi ke pasar atau pulang ke kampung, di rumah bapaknya. Itu pun tidak sering.

Di rumah yang di sebelahnya ada surau, Nunuk telah menyaksikan keajaiban Allah Swt. Bertemu Sahid dan kemudian menjadi suaminya, mengusir makhluk halus yang bersemayam di tubuhnya, bukanlah penantian sia-sia.

Dan untuk pertama kalinya, Nunuk pergi jauh dari rumah. Persis sewaktu dulu dia meninggalkan kampung halaman dan bekerja di Surabaya, gara-gara Gendro Swara Pati. Namun kali ini langkah kepergiannya diiringi perasaan haru, bukan lagi ketakutan.

“Ini pertama kali saya meninggalkan hutan setelah 6 tahun tinggal di sana. Perasaan haru ini tidak bisa diungkapkan kata-kata. Saya sebentar lagi akan bertemu dengan anak-anak. Selain itu, saya juga akan bertemu dengan Mas Iksan, bapak dari anak-anak yang dulu pernah mengisi hati ini. Tapi saya yakin Mas Iksan akan menyadari kondisinya. Bahwa saya sudah mencurahkan perasaan ini untuk Mas Sahid. Bukan lagi soal cinta, melainkan semua karena Allah.”

***

Nunuk berjalan dengan langkah mantap menatap masa depan. Tas yang membebaninya tidak lagi memberatkannya. Agak kesusahan dia menuruni jalan. Keseimbangan harus dijaga agar tidak jatuh.

Melewati sebuah warung yang tidak jauh dari warungnya, Nunuk disapa si penghuni.

“Mau ke mana, Nuk?” Sapa seorang laki-laki bernama Suroto. Penduduk setempat. Yang juga membuka warung.

“Mau turun gunung, Kang. Mau ke Kediri. Jenguk anak. Kangen mereka. Tapi ini pulang dulu ke rumah.”

“Walah kok jalan kaki. Ayo tak antar.”

Tanpa pikir panjang Suroto keluar dari warung dan menstarter motornya.

Sampai di depan Nunuk, motornya berhenti. “Ayo naik,” perintah Suroto. Nunuk tidak pikir panjang. Dia langsung membonceng Suroto.

Di mata Nunuk, orang-orang pegunungan memiliki budaya tepa slira sangat tinggi. Mereka saling menghormati satu sama lain. Bila satu orang kesusahan, mereka beramai-ramai membantu. Mereka tak pernah pamrih. Itu yang disukai Nunuk selama 6 tahun tinggal di hutan.

Hanya berselang 15 menit, Nunuk tiba di rumahnya.

“Mampir dulu, Kang,” Nunuk menawarkan Suroto mampir.

“Gak usah, Nuk. Warung gak ada yang jaga. Salam aja buat bapak,” Suroto memutar motorn dan memacunya dengan kencang.

Dari dalam bapaknya Nunuk keluar. Dia penasaran dengan barang bawaan anaknya. Buru-buru diraihnya tas berisi pakaian itu.

“Tumben bawa pakaian sebanyak ini. Mana suamimu?” Tanya bapaknya.

“Mas Sahid sudah pergi, Pak!”

Nunuk lantas menceritakan pengalaman mendebarkan yang dialaminya bersama Sahid. Termasuk pertemuannya dengan Gendro Swara Pati. Bapaknya mendengarkan dengan seksama.

“Alhamdulillah, aku sekarang sudah bebas dari Gendro Swara Pati, Pak!” Kata Nunuk.

“Berarti tidak sia-sia selama ini kamu menunggu dia, Nuk,” ujar bapaknya.

“Kira-kira seperti itu, Pak.”

Nunuk membalas dengan raut kesedihan. Memang tidak sia-sia penantian panjangnya bertemu suami terakhir yang dapat membebaskan dari belenggu Gendro Swara Pati. Namun dia harus merelakan suaminya pergi.

“Lalu sekarang apa rencanamu?”

“Aku mau menemui anak-anak. Selama ini aku hanya bisa mendengar cerita dari bapak saja. Aku juga jarang berkomunikasi dengan Mas Iksan.”

Selama menetap di hutan gunung Penanggungan, Nunuk memang tidak pernah berkomunikasi dengan mantan suaminya. Selama ini hanya bapaknya Nunuk yang berkomunikasi dengan Iksan dan menanyakan kabar cucu-cucunya. Itu pun bapaknya Nunuk hanya menggunakan handphone jadul. Sementara Nunuk, selama tinggal di pegunungan, dia tidak pernah memegang ponsel. Maklum, di atas gunung tidak ada sinyal. Jadi percuma saja.

Beberapa kali saja bapaknya Nunuk mengunjungi Ponpes Iksan di Kediri. Hal itu dilakukan atas permintaan Nunuk agar bepaknya melihat keadaan cucu-cucunya. Sepulang dari sana sang bapak kemudian cerita ke Nunuk.

Selain itu, kalau pun dia rindu pada anak-anak, biasanya Nunuk turun ke perkampungan. Menelpon mantan suaminya agar disambungkan dengan Aisyah, Fatimah dan Muhammad. Itu pun jarang dilakukan. Sebab dia juga harus menjaga jarak dengan mereka. Khawatir Gendro Swara Pati mendengar percakapan mereka dan kemudian mengejar keluarganya. Tapi kini kekhawatiran itu hilang. Nunuk bahkan sudah turun gunung dan siap menemui anak-anaknya.[bersambung]

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...