Kisah Terbunuhnya Ronggolawe
REKAYOREK.ID Ronggolawe adalah sosok penting dalam sejarah berdirinya Majapahit. Ia menjadi salah satu pilar pertama dari sebuah kerajaan yang kelak akan menjadi kerajaan besar yang memiliki wilayah kekuasaan yang luas. Ronggolawe atau Ranggalawe merupakan salah satu pengikut setia Raden Wijaya yang turut merintis pendirian Kerajaan Majapahit pada 1293 Masehi, selain beberapa tokoh penting lainnya seperti Arya Wiraraja, Nambi, Kebo (Mahisa) Anabrang, juga Lembu Sora.
Ronggolawe adalah salah satu putra Arya Wiraraja, Bupati Songeneb (Sumenep) di Pulau Madura. Selain itu, Ronggolawe juga berkerabat dengan Lembu Sora yang tidak lain adalah pamannya. Tiga orang yang terikat jalinan keluarga ini mengabdi di Majapahit sejak era raja pertama, Raden Wijaya atau Kertarajasa Jayawardhana (1293-1309).
Arya Wiraraja adalah seorang penasehat Raja di kerajaan Singasari. Ronggolawe diutus ayahnya untuk menemani Raden Wijaya membabad hutan sebagai tempat berburu Jayakatwang Raja Kediri saat itu. Jadi Raden Wijaya dan Ronggolawe sama-sama orang suruhan/prajurit Kerajaan Kediri. Mereka menjadi sahabat dan mempunyai tujuan yg sama yaitu menggulingkan kerajaan Kediri, lalu nantinya mendirikan kerajaan baru yang sesuai dengan standar dan kriteria mereka akan sebuah kerajaan yang ideal.
Menuju tahta kerajaan Majapahit ini penuh lika liku, beruntungnya Raden Wijaya memiliki Ronggolawe yang cerdas dan setia padanya. Bagaimana mereka menggunakan pasukan Tartar untuk memukul jatuh Kediri dan setelah Kediri jatuh lalu mereka memutar kembali otak untuk membuat pasukan Tartar itu pergi dari tanah Jawa. Penuh intrik dan pertempuran yang diwarnai pertumpahan darah.
Tapi ketika Majapahit telah berdiri, Ronggolawe sangat kecewa, karena keinginannya untuk menjadi Patih membersamai Raden Wijaya membesarkan Majapahit tidak terwujud. Kekesalan Ronggolawe semakin memuncak lantaran Raden Wijaya mengangkat Nambi sebagai rakryan patih atau perdana menteri. Rakryan patih adalah jabatan paling tinggi dalam struktur pemerintahan Kerajaan Majapahit di bawah raja.
Menurut Ronggolawe, jabatan rakryan patih lebih pantas disandang oleh Lembu Sora, pamannya. Lembu Sora bagi Ronggolawe jauh lebih berjasa daripada Nambi dalam perjuangan mendirikan Kerajaan Majapahit. Namun, Lembu Sora, ternyata memilih patuh atas kebijakan raja. Ia juga menasihati Ronggolawe agar memohon maaf kepada Raden Wijaya. Akan tetapi Ronggolawe tidak mau dan memilih kembali ke Tuban.
Di tanggal 12 November 1293, Raden Wijaya menunjuk Ronggolawe sebagai Adipati Tuban, wilayah taklukan Majapahit di pesisir pantai utara. Namun, keputusan raja tersebut tidak memuaskan Ronggolawe. Ia merasa seharusnya mendapatkan posisi yang lebih baik.
Seiring berjalannya waktu Majapahit menjalankan pemerintahannya, dan roda pemerintahan yang memberi pajak yang tinggi dirasa Ronggolawe memberatkan rakyat, dan itu mengusik hatinya. Karena dahulu bertekad menggulirkan Kediri agar bisa membangun kerajaan yang memberi kesejahteraan bagi rakyatnya.
Ronggolawe pun akhirnya pergi meninggalkan istana setelah suaranya tidak didengar. Ia pergi disertai pasukan yang loyal padanya. Pasukan yang mengetahui semua perjuangan dan pengorbanan Ronggolawe dengan loyalitas totalnya. Saat itu Majapahit terpecah kekuatan pasukannya, Raden Wijaya melihat itu sebagai ancaman bagi kerajaan Majapahit yang baru berdiri ini, juga menyadari betapa besar pengaruh Ronggolawe dikalangan pasukannya.
Pertarungan tidak bisa dihindari lagi antara pasukan Majapahit dan pasukan Ronggolawe. Pasukan yang dahulu berada dalam satu barisan menjadi musuh di pertempuran itu berakhir dengan terbunuhnya Ronggolawe.
Pararaton menyebut pemberontakan Ronggolawe terjadi pada tahun 1295, sesudah kematian Raden Wijaya. Pemberontakan tersebut bersamaan dengan Jayanagara naik tahta. Dalam Nagarakretagama, Raden Wijaya meninggal dunia, digantikan kedudukannya oleh Jayanagara terjadi pada tahun 1309. Namun Nagarakretagama juga mengisahkan bahwa pada tahun 1295 Jayanagara diangkat sebagai yuwaraja atau “raja muda” di istana Daha. Di Kidung Panji Wijayakrama dan Kidung Ronggalawe dengan jelas diceritakan bahwa pemberontakan Ronggalawe terjadi pada masa pemerintahan Raden Wijaya, bukan Jayanagara.
Slamet Mulyana dalam Tafsir Sejarah Nagarakartagama (2006), mengutip Kidung Ronggolawe, menuliskan bahwa peperangan dalam pemberontakan Ronggalaww terjadi di sekitar Sungai Tambak Beras, Jombang. Atas perintah Raden Wijaya, Nambi ditemani Kebo Anabrang dan Lembu Sora memimpin pasukan Majapahit menuju Tuban untuk menghukum Ronggolawe. Di Tuban, Ronggolawe yang mengetahui bahwa ada pasukan yang dikirim untuk menyerangnya, ia segera mempersiapkan diri. Ia kemudian membawa pasukannya untuk menghadang rombongan Nambi di Sungai Tambak Beras. Terjadilah peperangan sengit.
Ronggolawe berhasil menikam kuda yang ditunggangi Nambi, namun Nambi masih selamat. Kebo Anabrang, panglima perang Majapahit mengambil-alih pimpinan perang pasukan Majapahit. Ia memerintahkan pasukannya untuk mengepung pasukan Ronggolawe dari tiga penjuru arah mata angin: timur, barat, dan utara. Taktik tersebut belum mampu mengungguli pasukan Ronggolawe. Kebo Anabrang memacu kudanya namun dikejar oleh Ronggolawe. Namun, dalam pengejaran itu, kuda Ronggolawe terjatuh dan tercebur ke Sungai Tambak Beras.
Kisah Tragis Kematian Ronggolawe
Kebo Anabrang bergegas turun dari kudanya dan menghampiri lawannya itu. Pertarungan satu lawan satu pun tak terelakan terjadi di Sungai Tambak Beras. Dalam suatu kesempatan, Kebo Anabrang akhirnya mencekik leher Ronggolawe. Dan Ronggalawe pun terbunuh. Lembu Sora, paman Ronggolawe melihat kematian Ronggolawe itu akhirnya menikam Kebo Anabrang sampai mati. Tragedi pembunuhan ini juga yang nantinya menjadi penyebab kematian Lembu Sora pada tahun 1300.
Jika bagi Majapahit Ronggolawe adalah pemberontak, maka bagi Tuban sosok Ronggolawe adalah sosok pahlawan dengan keberaniannya dan sosok yang mengetahui nilai dirinya, kehormatannya, sosok yang tidak akan diam saja jika dia diperlakukan tidak ksatria.
Kisah seperti ini banyak kita temui dalam sejarah. Pecah kongsi dalam suatu kekuasaan itu suatu hal yang sering terjadi dalam sejarah. Ojo baperan ojo gumunan.
Karena pola sejarah akan selalu berulang dan hawa kekuasaan membuat sahabat, teman, saudara menjadi musuh, bahkan bisa membuat kakak kandung tega melenyapkan adiknya sendiri seperti fragmen kisah-Amangkurat l yang membunuh pangeran Alit. Hendaknya kita mengambil pelajaran dari kisah-kisah sejarah ini. Jangan kita hanya menjadi buih yang tidak bermakna diantara gelombang kekuasaan, karena kadang rakyat memang hanya dianggap cheers atau pion terdepan yang layak dikorbankan, dan tak berharga bagi para pelakon diatas sana.@malika D. Ana