Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Memoar Wartawan Biasa-Biasa #21

"Hartawan"

Oleh: Amang Mawardi

Tahun 1977-1978 saya ngontrak di kawasan pinggiran, dekat sawah: Karang Asem, Surabaya. Ukuran rumah…eh salah, kamar … 4 x 3 meter.

Pemilik rumah cuma menyediakan amben kayu tanpa kasur, hanya tikar dengan sebiji bantal. Lantas ada lagi sebiji kursi lipat kayu.

Lantainya bukan ubin atau tegel –lebih-lebih keramik– tapi: tanah.

Saya termasuk pemuda paling lamban dalam hal menggunakan motor. Saya bisa mengendarai motor saat usia 24 tahun.

Sebagaimana generasi muda saat itu, memiliki motor adalah “impian mewah”. Kebanyakan kendaraan mereka sepeda.

Oleh sebab itu, saat saya dapat kongsen (inventaris) sepeda motor (bekas) dari kantor perwakilan, timbul buncah senang luar biasa. Kalau istilah sekarang: eforia.

Jika biasanya ke kuliah menggunakan angkot, berangkat kerja menuju rumah Ivans Harsono di kawasan Koblen yang kemudian tandem bonceng motornya, juga menggunakan angkot — maka, sejak saat itu saya sudah tak ber-angkot lagi.

Ya, akhirnya saya “punya” motor Honda laki-laki warna maron dengan tangki besar itu. Hore!

Ke kampus, bekerja, ‘walking-walking’, begadang — saya gunakan motor. Keren! (Setidaknya menurut saya).

Sehari-hari, motor cuma saya isi bensin dan naiki, kondisi mesin sering saya abaikan. Akhirnya sering rewel. Starter seringkali tak bisa menggerakkan mesin. Akibatnya saya sering mendorongnya dengan memasukkan ke ‘gigi 2’, supaya greng!

Sejak “punya” motor, saya rasakan kondisi badan mulai menurun, antara lain sering ditandai dengan batuk-batuk — batuk bukan muncul di kerongkongan, tapi timbul dari dada, persisnya paru-paru.

Hal ini lantas saya bawa ke dokter spesialis penyakit dalam, diberi obat. Sembuh.

Lama-lama sering timbul batuk di dada lagi. Saya mikir, “jangan-jangan saya kena TBC?”. Saya teringat adik saya Mushadi, saat sekolah di SMEA paru-parunya pernah ‘vleg’, ada bercak.

Teman-teman pun sering mengatakan, saya makin terlihat kurus.

Setelah saya analisis sebulan kemudian setelah saya terkena penyakit berat itu, mungkin disebabkan kurang istirahat dan makan tidak teratur. Kok bisa demikian?

Dulu semasa masih tinggal dengan orangtua, dimana separuh gaji saya serahkan Ibu, bisa tidur nyenyak dan makan teratur. Apalagi waktu itu saya belum pegang motor, sehingga membatasi saya untuk keluyuran tanpa batas.

Sementara saat kontrak “rumah” sendiri, gaji yang saya kelola tak bisa mencukupi kebutuhan makan saya dan lain-lain dalam sebulan. Kadang sehari cuma makan dua kali.

Pada suatu siang sekira sehabis dhuhur sampai selepas ashar, saya berada di sebuah rumah mewah di kawasan Ketintang, Surabaya.

Di situ ada shooting film ‘Inem Pelayan Sexy II’ dibintangi komedian Jalal, Doris Callebaut, Titik Puspa dan sejumlah pemain lainnya. Sutradara film ini Nya’ Abbas Akub yang pada sekian tahun kemudian dapat julukan Bapak Sutradara Film Komedi.

Lagi-lagi motor tak bisa saya starter selepas dari lokasi shooting itu. Berkali-kali. Saya buka tutup tangki, saya cek volume bensin, masih separuh.

Lantas saya tuntun dengan ngos-ngosan. Cukup jauh. Sampai depan RSI Wonokromo, saya dorong lagi dengan memasukkan ke ‘gigi 2’, dan “greng!” mesin hidup, yang lantas saya kendarai hingga ke kontrakan.

Sesudah motor saya jagrak di samping kamar, saya pingin cepat-cepat tidur. Saat saya hendak merebahkan diri ke amben, terasa seperti ada rasa pingin batuk.

Sekian detik kemudian saya batuk dengan cepat, terasa cairan kental di lidah dan rongga mulut: huk! Di lantai tanah sudah tercecer darah segar. Kalau diukur, mungkin ada separuh gelas. Tubuh saya lemas. Sakit apa saya ini?

Lantas ceceran darah saya tutup dengan tanah. Saya pun makin lelah bukan main. Lantas…lesss tertidur.

Esoknya saya bawa ke poliklinik paru-paru di RS Dr. Soetomo Surabaya. Saya divonis TBC. Yang saya heran, saya menganggap yang saya alami sakit berat, tapi saya tidak diharuskan opname. Hanya diberi obat untuk seminggu, yang kemudian disuruh kontrol.

Berita saya sakit, terdengar oleh teman-teman grup diskusi sastra “Sanggar 6 Januari ’73”.

Sekira 8 orang, di antaranya Mochamad Djupri (Al Fatihah), Toto Sonata, Sam Rahmat, DS Yono (Al Fatihah), selepas magrib mereka menjenguk saya.

Mereka duduk di amben, kursi lipat, dan ada yang berdiri. Sebelumnya, kantong kertas besar berisi roti diserahkan ke saya.

Setelah obrolan basa-basi, Djupri mengatakan: “Mang, Anda ini ternyata kaya, lho…” dengan mimik serius.

Mendengar pernyataan Djupri itu, saya agak bingung. Meski ada juga sedikit prasangka, jangan-jangan ini guyonan.
Beberapa teman, saya lihat senyum-senyum.

Lantas saya tanggapi omongan Djupri : “Kaya gimana, Pri…? ” Djupri cuma menjawab dengan senyum.

Saya heran, Djupri yang saya kenal sebagai sosok pendiam, saya rasakan ada sesuatu yang aneh pada dirinya saat itu.
Setelah itu Djupri senyum-senyum lagi, bikin saya tambah penasaran.

Rupanya Toto tidak ‘srantan’ dengan lontaran pernyataan Djupri itu. Lantas menjelaskan duduk perkaranya.

Saat mereka tiba di mulut gang, bertanyalah Djupri pada seorang ibu tentang letak persis “rumah” saya, “Oh… Mas Amang hartawan…”. Lantas dengan beberapa gerak tangan, ibu tadi menunjukkan arahnya.

Tahu kan maksud kosakata ‘hartawan’ di sini? Ya, betul: ‘wartawan’.

Mendengar penjelasan Toto, meledaklah kami memenuhi ruang kamar paria saya.

“Tiba’e awakmu yo iso guyon yo, Pri…” kata saya. Ternyata Anda (yang pendiam ini) bisa becanda juga ya Pri, begitu kira-kira terjemahannya.

(Jika ingat hal itu, mata saya berkaca-kaca, betapa tulusnya mereka…).@

Komentar
Loading...