Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Memoar Wartawan Biasa-Biasa #26

Kenalan Wakil Menteri Luar Negeri

Oleh: Amang Mawardi

Tahun 1973 saya praktik kerja lapangan (PKL) di PT. Semen Gresik (SG).

Salah satu syarat untuk bisa dapat ijazah STM II (Kimia Industri) Surabaya, selain lulus ujian sejumlah mata pelajaran, juga harus mengikuti PKL di industri/pabrik yang memiliki unit laboratorium, selama sebulan.

Saya, Agung Wibawanto, dan Tatiek Achadijah beruntung bisa PKL di industri besar ini.

Atas jasa Om-nya Agung yang jaksa, kami bisa PKL di SG. Mungkin Om-nya punya hubungan baik dengan salah satu petinggi pabrik semen tersebut.

Ternyata tidak hanya kami bertiga, ada enam orang lainnya teman satu sekolah yang PKL di situ.

Kami bertiga masuk Gelombang I. Masih ada dua gelombang lainnya yang saya sudah lupa siapa saja mereka, kecuali Iwan dan Solichah.

Oleh manajemen SG kami per orang diberi uang saku Rp. 4.000.

Setelah tanya sana-sini, oleh Pak Samsoedin Noor yang kalau tidak salah waktu itu menjabat Kepala Humas, kami disarankan menemui Ibu Suroso di Blok FF 12 kompleks perumahan SG. Karena beliau, sebagaimana diinformasikan Pak Samsoedin, rumahnya (pernah) menjadi tempat kost.

Pak Samsoedin Noor pada sekian tahun kemudian menjadi anggota DPRD Gresik dari Golkar, sebagaimana sering saya baca berita-beritanya di koran.

Jadilah kami kost di rumah Pak Suroso yang kalau tidak salah beliau waktu itu menjabat Kepala Personalia SG.

Pak Suroso sosok yang sederhana, ramah dan santun.

Mungkin karena dekat dengan kantor, jika berangkat dan pulang kerja, beliau menggunakan sepeda kayuh.

Untuk kost di rumah beliau, kami dikenakan Rp 3.500. Cukup murah untuk ukuran saat itu, mengingat kamar yang kami tempati bersih dan nyaman.

Tentu saja, karena beliau masuk pejabat eselon II, rumah dinas yang ditempati cukup besar. Halaman depan rumah relatif luas, banyak tanaman hias serta padang rumput kecil menghijau.

Ada sesuatu yang mengesankan (mungkin bagi saya), setiap sarapan dan makan malam, selalu bersama dalam satu meja dengan keluarga beliau.

Bayangkan, saya yang tinggal di kampung padat penduduk yang setiap makan diambilkan (ditaker) oleh Ibu saya supaya pas untuk konsumsi semua anggota keluarga, saat di rumah Pak Suroso makan enak dengan banyak menu, sekenyangnya, bersama-sama seperti adegan di film-film.

Mula-mula serba kikuk, grogi. Saat makan, kadang saya barengi dengan melirik Agung sambil tersenyum kecil setengah dipaksakan.

Selama sebulan, rasanya –saya atau boleh jadi kami bertiga– mirip orang kaya.

Seperti halnya keluarga zaman itu, punya banyak anak adalah hal lumrah.

Demikian juga Pak Suroso dan istri.

Yang pertama Mas Eko, kedua Mbak Nina, ketiga Mas Wiwik, keempat Mbak Ami, kelima Mbak Lita dan yang keenam adalah Mas Bayu.

Karena ada kaitan dengan inti tulisan ini, fokusnya pada Mas Wiwik — waktu itu mahasiswa tingkat II Fakultas Hukum (FH) Unair. Beliau penggemar musik jazz.

Pada tahun 1973 musik jazz belum se-populer sekarang.

Saat membicarakan musik itu, oleh Mas Eko si sulung, dibilang: “Opo iku musik jazz,” mungkin ‘bully’ halus, semacam menggoda. Mas Wiwik yang kalem cuma tersenyum.

Tahun 1997 saya dan Toto Sonata di sela kesibukan jurnalistik, bikin pameran lukisan di SG dalam rangkaian ulang tahun pabrik itu, diikuti 59 pelukis Jawa Timur dan sukses besar.

Saat itu saya dalam posisi ‘free lance’, sedangkan Toto wartawan tabloid Nyata.

Nah, di sela iven itu saya ketemu Mbak Ami yang karateka, salah satu putri Pak Suroso.

Lantas saya tanya satu per satu keadaan keluarga.

Kalimat Mbak Ami yang saya masih ingat, “Mas Wiwik berkarier di Deplu, Mas Amang. Sering tugas ke luar negeri. Sekarang jadi pendiam, pelit ngomong,” kata Mbak Ami yang dulu siswi SMA 6 Surabaya.

Sebagai jurnalis, meski bukan ahli, sedikit banyak tahu dunia intelijen. Bawah sadar saya membatin: ‘Ya ialah, jadi pendiam. Ini kan kaitan profesi. Sebagai diplomat, banyak yang harus dirahasiakan.”

Tahun 2008 saya membaca kolom navigasi di halaman 1 Harian Kompas. Di situ antara lain ditulis bahwa Triyono Wibowo akan dilantik sebagai Wakil Menteri Luar Negeri oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara. Ini wamenlu pertama di era Orba. Pada awal-awal pasca-kemerdekaan pernah ada juga wamenlu, kalau tidak salah Mr. Tamsil St. Narajau.

Berita ini lantas saya teruskan ke Iwan yang juga pernah PKL di SG dan kost di rumah Pak Suroso (ayahanda Mas Wiwik/Triyono Wibowo).

Iwan yang saat itu salah satu pejabat eselon II di Pemprov DKI bilang, “Sebentar, saya cheknya… ”

Kalau menyangkut info-info penting yang A1, Iwan jago. Kadang timbul di pikiran ‘jangan-jangan Iwan bagian dari tentakel intelijen Indonesia’.

Ternyata benar. Lantas Iwan kirim bunga ucapan selamat ke rumah Mas Wiwik di Bekasi, disitu dicantumkan sembilan nama murid STM II (Kimia Industri) Surabaya yang pernah PKL di SG dan kos di rumah Pak Suroso.

Dua hari kemudian saya di-SMS Mas Juda Julianto Angkatan 1965 STM II (Kimia Industri) yang kakak ipar Mas Wiwik (suami Mbak Nina). Mas Juda adalah karyawan Petrokimia.

“Dik Amang, saya meneruskan terimakasih Mas Wiwik atas kiriman bunga ucapan selamat,” tulis Mas Yuda.

Saat itu yang jadi Menteri Luar Negeri adalah Marty Natalegawa. Mas Wiwik sebagai wamenlu: 2008 – 2011.

Pada bulan puasa tahun itu juga, ada SMS masuk dari nomor tak dikenal. Setelah itu memperkenalkan diri sebagai Triyono Wibowo. Siapa ya?

Ternyata Mas Wiwik. Tentu saja saya kaget dan bangga.

Bayangkan seorang wartawan biasa-biasa, tidak banyak yang kenal –kecuali di lingkungan Balai Wartawan dan komunitas seni Balai Pemuda– diajak ‘chatting’ oleh Wakil Menteri Luar Negeri yang pernah jadi Dubes di banyak negara –bahkan pernah jadi duta besar berkuasa penuh di PBB.

Kami “ngobrol” dari jam 2 pagi hingga beberapa menit jelang sahur.

‘Mas, masih suka musik jazz?”

‘Enggak Dik. Sekarang keroncong. Karena sering tugas di luar, untuk mengobati kangen Tanah Air, saya setel keroncong… ”

Esok pagi saya ketemu Pak Edy Rusianto Corporate Secretary Bank Jatim yang pemred majalah Bank Jatim.

Saya tahu bahwa beliau adalah teman satu angkatan dengan Mas Wiwik di FH Unair.

Saya yang waktu itu redpel majalah Bank Jatim mencoba unjuk pamer: “Pak Edy, semalam saya ngobrol dengan Pak Triyono hingga jelang sahur… “.

Jawab Pak Edy dengan kalem, ” Oia? Gimana…gimana…”

Lantas saya bla bla bla.

“Saya kemarin dan istri, juga ngobrol dengan beliau dan Bu Wiwik di restoran hotel Shangri-La hingga jam dua belas (malam),” kata Pak Edy masih dengan kalem.

Eladalah! Maunya saya pamer keakraban saya dengan wamenlu, eh…ternyata bos saya yang saya pameri, jauh lebih akrab.
Blaen!

Setelah ‘chatting’ pada tahun 2008 itu, kami tidak pernah berhubungan lagi. Atau sangat-sangat jarang.

Pernah sesudah saya pasang status WA tentang salah satu guru besar Fakultas Hukum Unair yang semasa muda teman bermain teater yaitu Frans Limahelu, beliau lantas menjapri saya. Ya saya jelaskan, kurang lebihnya seperti di atas.

Yang saya heran, kalau kita pasang status WA, kita akan tahu siapa saja yang melihat postingan kita. Lha saat saya pasang status WA seputar Prof Dr. Frans Limahelu, tak ada di list nama Triyono Wibowo. Hehehe…HP-nya canggih. Atau jangan-jangan saya yang gaptek.

Saat lebaran tahun lalu, saya dapat ucapan dari beliau. (Kok kebalik, mestinya saya yang lebih muda setahun yang kirim ucapan tersebut).

Lantas dilanjut ngobrol yang durasinya tidak begitu lama, antara lain seputar dunia literasi.

Sebulan kemudian, saya dijapri beliau, isinya antara lain tentang buku memoar yang ditulis oleh Kadiroen Kromodiwirjo, eyangnya. Beliau seorang Digulis, pernah diasingkan ke Digul bersama sejumlah perintis kemerdekaan lainnya, yang kemudian saat Jepang mulai mencoba menjamah Indonesia, sejumlah perintis kemerdekaan termasuk Eyang Kadiroen dipindahkan oleh Belanda ke Australia.

(Intinya Mas Wiwik ingin jumpa darat).

Buku ini ditulis oleh Eyang Kadiroen sejak tahun 1967. Dikerjakan dengan tulisan tangan di buku skrip produksi PN Letjes.
Karena panjangnya memoar ini, buku skrip itu jika ditumpuk tingginya mencapai hampir semeter.

Sebagai penyunting adalah wartawan senior Soebagijo I.N.

Namun jelang selesai penyuntingan, Pak Bagijo meninggal dunia. Lantas dilanjutkan oleh asisten beliau yaitu Pak Bambang Hersrinuksmo.

Innalillahi wa inna ilaihi raji’un, Pak Bambang menyusul meninggal juga.

Penyuntingan sudah selesai, hanya butuh pembenahan di beberapa bagian.

Namun, penanggungjawab penerbitan, yaitu Pak Sumono Mustoffa yang Om-nya Mas Wiwik, menyusul meninggal tak lama kemudian.
Itu terjadi di awal tahun 2000.

Draft buku ini pun terkatung-katung puluhan tahun.

Saat doktor honoris causa tentang hukum nuklir dari Unair ini sedang berada di Moskwa di rumah salah satu putranya yang diplomat, kepikiran serius. ‘Buku ini harus jadi…’ demikian yang ada di benak beliau.

“Tolong Dik Amang dibantu, supaya buku ini terbit,” kata beliau saat pertama kali ketemu di seputar Juli tahun lalu, sepulang dari Moskwa. Ini pertemuan saya yang pertama dengan beliau sejak 1973. Kesan saya: kalem, ramah, sangat korek dibalut ungkapan-ungkapan halus.

Tugas saya menyusun daftar isi dan…menghaluskan penyuntingan.

Setelah lebih kurang 10 kali kami bertemu untuk mendiskusikan buku berjudul ‘Berjalan Sampai ke Batas’ di sebuah kafe di Jalan Progo 10 itu, maka tibalah untuk mengundang Mas Alek Subairi sebagai penerbit dan penata artistik buku setebal xxii + 522 halaman ini.

Total pengerjaan editing “gelombang III” –gelombang I dikerjakan Pak Soebagijo I.N; gelombang II ditangani Pak Bambang Hersrinuksmo– dan proses pra-cetak serta cetak buku, butuh waktu 4 bulan. Akhir bulan Oktober 2022 selesai cetak.

“Tolong, akhir Oktober sudah selesai nggih…” pesan beliau sebelum itu. “Karena akhir November saya dan istri akan bertolak ke Moskwa. Di sana agak lama…”

Buku ini dicetak terbatas, untuk kalangan keluarga, cuma 100 ekslempar. Saya cuma punya “dua”. Yang satu asli, satunya ‘dummy’.

Apa inti buku ini? Bahwa Digul bukan melulu buangan orang-orang komunis, tetapi “gabungan” nasionalis, agama, dan komunis.

Ada berbagai etnis di situ: Batak, Jawa Sunda, Ambon dan lain-lain — termasuk Arab dan Cina.

Kalau Belanda menstigma komunis, itu karena harapan untuk di-‘backup’ sekutunya: AS dan sejumlah negara kapitalis-penjajah di Eropa.

Barangkali sudah banyak buku tentang Digul, tetapi bukan ditulis oleh orang pertama, melainkan oleh wartawan, penulis, atau salah satu anggota keluarga.

Buku ‘Berjalan Sampai ke Batas’ ditulis langsung oleh pelakunya.@

Komentar
Loading...