Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Denok Deblong #4

Menikahi Penggemarnya

Oleh: Jendra Wiswara

Sepertinya Nini Denok menyimpan betul kenangan masa lalunya. Kenangan, yang selama ini tak pernah disentuh orang.

Dalam hari-harinya, dalam liukan tubuhnya di pertunjukan hajatan, orang-orang berusaha menyentuh tubuhnya. Ada yang mengajaknya menari. Orang-orang rela menyawer demi dia.

Tapi, belum ada orang yang berusaha menyentuh masa lalunya. Belum ada orang yang bisa mendapatkan kenangan itu.

Nini Denok terlihat berusaha menyimpan dalam-dalam masa lalu itu. Masa di mana dia merasakan bagai bidadari kecil. Menari. Melayang ke awan.

Denok bercerita.

Saat kecil, ia harus mempelajari gerakan dan gamelan. Sebuah kenangan indah, yang membawanya ke impian seorang penari.

Dari kecil, Denok juga dirawat secara khusus oleh ibunya. Banyak pantangan. Makanan atau minuman. Juga cara bertingkah. Cara menggerakkan tubuh. Cara mengatur pakaian.

“Menjadi penari ndak bisa langsung jadi. Kalau tidak dari kecil, penari nggak ada auranya. Penari jadi kayak penyanyi dangdut, asal pantat goyang, jadi tarian,” katanya.

“Pada usia berapa Nini menjadi penari?”

Ia diam. Agak lama. Matanya terus memandangi hujan.

“Aku menjadi penari pada usia sangat muda. Waktu itu tujuh belas tahun. Aku terpaksa harus menjadi penari,” ujarnya.

Kali ini, mimiknya berubah. Menjadi sedih.

Saat ditanya kenapa, ia tak mau menjawab. Ia seperti menyimpan sesuatu.

“Penari itu bakat bawaan dari keluarga. Tapi ada juga karena perjuangan sejak masih belia, diajarkan secara turun temurun. Saya tampil menari di usia 17 tahun. Ini terpaksa saya lakukan sejak ibu meninggal dunia. Saat itu ibu adalah tulang punggung keluarga. Sekarang, mau bagaimana lagi. Ini satu-satunya upayaku untuk bertahan hidup.”

Wajah perempuan ini berubah. Ia begitu terlihat sedih. Tarikan nafasnya panjang dan berat.

Memang, waktu ia berusia tujuh belas tahun, ibunya meninggal dunia. Waktu itu ibunya masih menjadi penari. Tidak jelas, beliau sakit apa.

* * *

Saat itu tiba-tiba pintu belakang warung Nini Denok terbuka. Seorang lelaki muda belia masuk. Usianya masih tiga puluhan. Tak ada ekspresi aneh saat lelaki itu melihat tamu Nini. Tiba-tiba, Nini Denok nyeletuk.

“Kenalkan, ini pengemarku,” katanya pada lelaki tersebut.

Laki-laki itu tersenyum. Dia berjalan mendekat dan mengulurkan tangan untuk berjabatan.

“Dia suamiku. Baru selapan (kurang lebih 40 hari) kami menikah.”

Rupanya, Nini Denok dan laki-laki itu baru menikah. Mereka masih pengantin baru. Ah, benar-benar tak terlihat sama sekali, bahwa mereka adalah sepasang pengantin baru. Semua begitu biasa.

Lelaki itu duduk di samping tamu, mengeluarkan rokok klobot. Ia hisap rokok dalam-dalam. Lalu, menghembuskannya. Asapnya ke mana-mana. Tapi kemudian hilang tertiup angin.

“Oh, jadi mas ini penggemar istri saya?” Kata lelaki tersebut.

“Sama mas. Saya dulu awalnya juga penggemarnya. Sekarang dia sudah menjadi istri saya,” katanya lagi.

Nini Denok tersenyum. Terlihat sekali ada kebanggaan di wajah laki-laki tadi.

“Kalau saya pengantin baru. Tapi, kalau Nini Denok, ha… ha… ha…” tiba-tiba saja tawa laki-laki itu meledak.

“Hei, jangan gitu! Mentang-mentang aku sudah empat kali menjanda, jadi tidak boleh dibilang pengantin baru ya,” tiba-tiba saja Nini Denok protes sama suaminya.

Inilah salah satu kisah seorang penari yang baru saja dipersunting, sama sekali tak kelihatan bahwa ia adalah seorang perempuan yang baru membina rumah tangga. Begitu juga suaminya. Sama sekali tak terlihat, bahwa dia akan membangun sebuah keluarga.

Ia begitu paham bahwa ia bukan orang pertama buat istrinya. Juga, mungkin bukan untuk seterusnya. Semuanya biasa-biasanya.

Sepertinya, kedua orang itu sudah sama-sama tahu. Bahwa, menikahi penari harus menerima resiko dicap negatif dari luar. Benar-benar sebuah misteri? [bersambung]

 

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...